METODE INTERPRETASI DAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Mon, 09/07/2007 - 14:33 | Pengunjung
Oleh : Ramelan
1. Pendahuluan
Dalam kurun waktu keberadaan negara ini sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dibuat, silih berganti sejalan dengan masa transisi sistem politik dan pemerintahan. Misalnya saja, Peraturan Penguasa Militer Nomor : PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda, diundangkan pada situasi politik setelah Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan dan sistem politik pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Setelah peraturan Penguasa Perang Pusat (PEPERPU) tersebut yang sifatnya temporer tidak berlaku lagi, kemudian diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 (yang disyahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961) tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berada dalam rezim dengan sistem politik dan pemerintahan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (yang dinyatakan berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959) yang menggantikan UUD Sementara 1950. Setelah terjadi perubahan sistem politik Orde Baru (era kekuasaan Soeharto) yang menggantikan politik Orde Lama, (era kekuasaan Soekarno) dilahirkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Dalam masa perubahan sistem politik era reformasi yang menggantikan sistem politik Orde Baru, dimana masalah korupsi menjadi topik utama menuju perubahan, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 telah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Jika dicermati setiap konsideran maupun penjelasan umum dari setiap perubahan dalam Perundang-Undangan tersebut diatas, akan terungkap bahwa setiap pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang berbunyi bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, sementara itu perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks. Jadi setiap lahirnya Undang-Undang tentang pemberantasan korupsi, senantiasa diiringi harapan bahwa Undang-Undang yang baru akan dapat mengatasi masalah tindak pidana korupsi. Masyarakat dijanjikan akan datangnya zaman baru yang bebas dari korupsi.
Harapan tersebut pada awalnya memang menggembirakan, pemberantasan korupsi dilaksanakan sungguh-sungguh dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Namun ternyata kemudian, seiring dengan perjalanan waktu ketika pemberantasan korupsi menyentuh hampir seluruh struktur dan sistem masyarakat, kekhawatiran mulai muncul pada sekelompok masyarakat terutama elite kekuasaan, mereka merasa bahwa pada gilirannya akan menjadi target operasi pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari situasi inilah akan timbul perlawanan baik terang-terangan maupun secara tersembunyi dengan menyusup ke pembuat kebijaksanaan dengan maksud mempengaruhinya sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi tidak optimal. Perlawanan secara tidak langsung juga dilakukan melalui isu-isu yang dapat menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Penolakan para birokrat untuk diangkat sebagai pimpinan proyek dan bendaharawan proyek, ketakutan pimpinan instansi pemerintahan mengambil keputusan yang strategis, ketidak beranian pimpinan bank menyalurkan kredit, keengganan pengusaha mengambil kredit pada bank-bank pemerintah serta bermacam-macam sikap lain yang negatif, senantiasa dihembuskan sebagai isu-isu dan dalih untuk melakukan perlawanan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perlawanan dan penolakan tersebut oleh sementara orang dipandang sebagai wujud keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu menganggap orang mulai takut melakukan korupsi. Namun bagi sebagian orang yang memiliki kejujuran dan pengabdian, situasi psikologis, rasa takut tersebut, bukan disebabkan karena takut korupsi. Kekhawatiran mereka lebih tertuju pada ketidak pastian dalam penegakan hukum, tidak ada konsistensi dalam penerapan hukum. Mereka senantiasa was-was, bahwa apa yang diputuskan dan dilakukan saat ini sudah benar dan sesuai dengan ukuran norma hukum yang berlaku pada masa kini, ternyata di kemudian hari setelah terjadi pergantian rezim pemerintahan, keputusannya tersebut dinilai keliru dan melanggar hukum berdasarkan ukuran norma hukum yang berlaku pada rezim pemerintahan yang baru. Pada intinya, orang khawatir tidak ada kepastian aparat penegak hukum dalam menafsirkan atau menginterpretasikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan.
Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara profesional, dengan menerapkan hukum secara benar sejalan dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam setiap peraturan perundang-undangan. Menjadi penting bagi aparat penegak hukum untuk memegang teguh metode intepretasi hukum yang diajarkan oleh ilmu pengetahuan hukum pidana.
2. Sekilas Tentang Metode Interpretasi Hukum
Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan yang dicapai di luar hukum tertulis”.[1]) Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya, tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.
Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum. [2])
Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga undang-undang itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.
Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.[3]
Dalam tataran praktis, metode penafsiran dapat diketemukan pada pertimbangan-pertimbangan putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dikenal beberapa metode penafsiran atau interpretasi menurut bahasa atau gramatikal, interpretasi menurut sejarah atau interpretasi historis, interpretasi menurut sistem yang ada dalam hukum atau interpretasi sistematis, interpretasi dogmatis, interpretasi sosiologis, atau interpretasi teleologis, interpretasi perbandingan hukum dan interpretasi futuristis.
Interpretasi otentik menurut Sudikno Mertokusumo tidak dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang, bukan dalam tambahan lembaran Negara.[4]
2.1. Interpretasi bahasa atau interpretasi gramatikal.
Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan penafsiran.
Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa.
2.2. Interpretasi menurut sejarah atau historis
Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi historis yaitu :
a. Interpretasi menurut sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)
Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan perundang-undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih berlaku di negara lain ; seperti misalnya KUHP kita yang berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Ditinjau sejarah sistem hukumnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon, berhubung Belanda pada waktu itu di jajah oleh perancis.
b. Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet historische-interpretatie)
Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi sejarah perundang-undangan.
2.3. Interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis
Setiap gejala sosial senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan ) dengan gejala-gejala sosial yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara peraturan-peraturan itu saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut.
Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan.
2.4. Interpretasi sosiologis atau interpretasi teleologis.
Sementara ahli menyatakan adanya perbedaan antara interpretasi sosiologis dengan interpretasi teleologis.[5] Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang - undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama itu sekarang.[6]
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta menerangkan bahwa kadang-kadang interpretasi bahasa di bantu oleh interpretasi sejarah dan interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu diselidiki sebab-sebab atau faktor-faktor apa dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan mengapa perundang-undangan (pemerintah) atau pengambil inisiatif undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak mengajukan RUU itu. Ini dinamakan interpretasi sosiologis.[7] Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum bisa memuaskan dan harus dibantu oleh semua interpretasi yang mengemukakan tujuan dari usaha membentuk perundang-undangan baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk membantu / menunjang argumentasi sosiologis.[8]
2.5. Interpretasi komparatif atau interpretasi perbandingan hukum.
Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.[9]
2.6 Interpretasi futuristis.
Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, misalnya undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.
3. Polemik Interpretasi Rumusan Tindak Pidana Korupsi
Pengamatan terhadap praktek penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dapat di identifikasi bahwa dari sebanyak 13 (tiga belas) pasal Rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanyalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang sering digunakan untuk menuntut terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dapat di maklumi mengingat perumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah sangat luas dan elastis sifatnya sehingga dapat menjaring hampir setiap perbuatan yang melawan hukum. Hal ini yang menimbulkan persoalan-persoalan yuridis dalam implementasinya.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan dengan kata-kata : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Perumusan yang luas dan dipandang kurang jelas tersebut sering menimbulkan pendapat yang bervariasi dan vergensi makna. Hal ini bukan saja melahirkan polemik interpretasi dalam persidangan suatu perkara pidana, akan tetapi juga membuahkan inkonsistensi putusan pengadilan yaitu pandangan-pandangan yang berbeda antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain. Interpretasi yang menyangkut, subyek hukum,”unsur, melawan hukum “ serta unsur, keuangan negara atau perekonomian negara” dari Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya dan akan selalu berulang dalam setiap persidangan. Perdebatan pandangan juga telah melibatkan para akademisi yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk memberikan keterangan di persidangan sebagai alat bukti ahli.
3.1. Subyek Hukum
Subyek hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dirumuskan dengan kata, setiap orang “ yang secara otentik telah mendapat penjelasan dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu dimaksudkan sebagai, orang perorang atau termasuk korporasi.”
Persoalan subyek hukum ini akan mengemukakan manakala yang menjadi terdakwa adalah seorang yang menduduki jabatan pengurus korporasi, ketua yayasan atau perkumpulan apapun ataupun seorang yang menjabat sebagai direksi perseroan terbatas atau direksi badan usaha milik negara (BUMN). Sementara itu perbuatan yang di dakwakan terkait dengan jabatannya selaku pengurus atau direksi suatu korporasi, yang biasanya dirumuskan dalam surat dakwaan dengan kalimat ; Bahwa ia terdakwa X (nama terdakwa) selaku Direktur P.T (Perseroan Terbatas) Z (nama korporasi) yang diangkat berdasarkan surat keputusan Menteri………………..dst.”
Uraian surat dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut menimbulkan polemik apakah yang dimaksud dalam surat dakwaan tersebut adalah terdakwa sebagai subyek hukum orang perseorangan ataukah sebagai subyek hukum korporasi yang diwakili oleh pengurus bernama X sebagai Direktur P.T. (Perseroan Terbatas). Interpretasi terhadap rumusan dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut memiliki akibat hukum berbeda. Jika subyek hukum yang dimaksud adalah korporasi maka ketentuan pemidanaan akan berlaku Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu ancaman pidana hanyalah denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Konsekuensinya lebih lanjut bahwa terdakwa yang mewakili korporasi tidak dapat dikenakan tindakan penahanan. Jika yang di maksud dengan subyek hukum tersebut orang perorangan maka ketentuan pemidanaan adalah yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sebagai kosekuensi ancaman pidana ini, subyek hukum orang perorangan dapat dikenakan tindakan penahanan.
Pada dasarnya ternyata bahwa dikalangan aparat penegak hukum masih belum mampu mengimplementasikan perbedaan interpretasi subyek hukum orang perorangan dan subyek hukum korporasi. Kesulitan mengimplementasikan interpretasi subyek hukum korporasi dapat di indikasikan bahwa hingga saat ini belum ada “ satupun korporasi yang dijadikan subyek hukum dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi.” Hal ini dapat dimengerti karena dasar-dasar pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan doktrin “Strict Liability dan Vicarious Liability” belum begitu populer dikalangan penegak hukum.
3.2. Unsur Melawan Hukum
Perumusan yang luas dengan memasukkan unsur melawan hukum sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah membuka kemungkinan terjadinya multi interpretasi melalui interpretasi ekstensif. Hal ini ditandai adanya suatu kecenderungan dalam praktek peradilan dimana para praktisi hukum melalui perdebatan dan polemik yang diajukan dalam requesitoir, pledoi maupun putusan pengadilan menginterpretasikan unsur melawan hukum menurut subyektifitas kepentingan masing-masing. Interpretasi tentang hal ini pada umumnya terjadi dalam peristiwa-peristiwa :
a. Seorang yang melanggar hukum peraturan pidana lain (seperti, penyelundupan, pelanggaran pajak, penerimaan kredit secara tidak wajar yang merupakan pelanggaran pidana perbankan, pelanggaran tindak pidana kehutanan dan lain-lain) dimasukkan pula sebagai pelanggaran undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Perumusan unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sangat luas dan umum dan bersifat terbuka untuk ditafsirkan yaitu meliputi setiap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana. Dengan demikian setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana (KUHP maupun perundang-undangan lainnya) asalkan terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat diterapkan sebagai pelanggaran Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai contoh ekstrim dapat di kemukakan misalnya seseorang yang melakukan pencurian mesin komputer milik inventaris kantor pemerintah akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, unsur kerugian keuangan negara. Interpretasi yang demikian tentu saja menimbulkan ketidak pastian hukum, karena orang tidak mengetahui dengan pasti kriteria apa perbuatan yang melanggar ketentuan pidana lain tersebut diterapkan sebagai tindak pidana korupsi dan kapan diterapkan murni pelanggaran tindak pidana lain yang khusus untuk perkara tersebut.
Prof. Oemar Seno Adji SH mengkritik keras cara-cara penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi semacam itu, dengan menyatakan :
“ Tidak dapat di pungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan para penegak, “hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan apabila tidak terdapat hambatan pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak ekssesif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “ overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.[10]
Interpretasi yang luas dari perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selain menimbulkan ketidak pastian hukum, juga terbukti mengesampingkan nilai dan makna filosofis dari suatu perundang-undangan pidana yang dibuat khusus untuk menghadapi perbuatan yang khusus diatur dalam undang-undang yang di maksud. Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan pengertian dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara luas dan umum tersebut. Prof.. Oemar Seno Adji menganjurkan untuk dilakukan rechtsverfijning (penghalusan hukum) dalam implementasinya oleh hakim yaitu suatu aturan umum itu dibatalkan oleh kekecualian khusus.[11] Bilamana terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu tindakan tindak pidana penyelundupan maka kepadanya diterapkan dakwaan undang-undang kepabeanan, jika suatu peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana pelanggaran hutan seharusnya hanya diterapkan undang-undang tentang kehutanan, tidak lagi diterapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Penunjukan Langsung Pengadaan Barang/Jasa dan Interpretasi Unsur Melawan Hukum
Dalam praktek penegakan hukum sering terjadi polemik antara aparat penegak hukum dengan tersangka / terdakwa dan penasehat hukum dalam kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan dana pemerintah, menyangkut sistem pengadaan dengan metode penunjukan langsung rekanan. Dalam pandangan aparat penegak hukum perbuatan pengadaan barang/jasa dengan metode penunjukan langsung di interpretasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah beberapa kali dilakukan perubahan dan terakhir perubahan keempat berdasarkan peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, sedangkan bagi tersangka, terdakwa maupun penasehat hukum menginterpretasikan bahwa penunjukan langsung tersebut masih dalam batas-batas yang diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
Jika diperhatikan argumentasi yang dikemukakan dalam perdebatan, pada umumnya mereka menafsirkan unsur secara melawan hukum dengan sangat sederhana dan normatif yaitu hanya menggunakan ukuran melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Mereka memandang bahwa pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, “identik” dengan pelanggaran unsur melawan hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain pelanggaran hukum administrasi sama dengan pelanggaran melawan hukum dalam hukum pidana. Interpretasi yang demikian itu dirasakan sebagai kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidak adilan dan ketidak pastian hukum. Seyogyanya kaidah teoritis interpretasi hukum, baik yang dikemukakan sebagai doktrin maupun yurisprudensi dipakai secara mendalam, bukan interpretasi yang didasarkan pada logika subyektif. Penunjukan langsung baru merupakan perbuatan melawan hukum apabila unsur kesengajaan penggelembungan harga atau diikuti dengan penyuapan kepada pejabat yang bersangkutan, suatu pandangan yang menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas kepatutan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat.
c. Kriminalisasi Hukum Bisnis Dalam Implementasi Unsur Melawan Hukum
Polemik tentang hal ini terjadi dalam kasus-kasus korupsi di BUMN terutama menyangkut investasi atau operasional perusahaan. Misalnya saja suatu Direksi BUMN melakukan kegiatan investasi jangka pendek atau operasional perusahaan, dimana sebagian tindakannya telah menguntungkan perusahaan, akan tetapi pada suatu saat investasi yang dilakukan gagal sehingga menimbulkan kerugian perusahaan.
Dalam kasus investasi yang menimbulkan kerugian, direksi dimaksud dituntut ke pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi atas dasar melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tidak melakukan penghati-hati, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku dalam perusahaannya. Sementara itu, tersangka/terdakwa berdalih bahwa kegiatan operasional dan investasi yang rugi tersebut adalah merupakan kegiatan bisnis sebagiamana yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu kerugian adalah merupakan resiko bisnis, karena ternyata sebagian besar kegiatan serupa telah mendatangkan keuntungan.
Dari contoh-contoh tersebut diatas menunjukan bahwa implementasi unsur melawan hukum dipandang tidak memiliki ukuran-ukuran yang jelas, dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Polemik terjadi menyangkut argumentasi apakah peristiwa itu murni dalam ruang lingkup hukum bisnis, yang diukur menurut norma perundang-undangan Perseroan Terbatas, ataukah peristiwa tersebut dapat di golongkan sebagi pelanggaran tindak pidana.
d. Interpretasi Unsur Melawan Hukum Menurut Yurisprudensi
Salah satu putusan Mahkamah Agung yang sangat monumental dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam perkara atas nama Raden Sonson Natalegawa. Dalam pertimbangannya mengenai unsur melawan hukum di kemukakan sebagai berikut:
“ Menimbang bahwa menurut mahkamah agung penafsiran terhadap putusan sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”
“ Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatan secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan yang melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk persaan hati masyarakat banyak.”
Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut menunjukan interpretasi hukum yang dipengaruhi oleh ajaran hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) yang mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[12] Dari putusan Mahkamah Agung tesebut dapat disimpulkan tentang interpretasi melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yaitu :
1) Pengertian unsur melawan hukum tidak tepat bilamana hanya di hubungkan dengan peraturan hukum yang ada sanksi pidananya. Melawan hukum dapat dihubungkan dengan peraturan hukum yang tidak memuat sanksi pidana.
2) Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum pengertian unsur melawan hukum harus juga diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
3) Menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menggunakan kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.
Dalam praktek peradilan, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut selalu di jadikan referensi dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum. Akan tetapi yang perlu di perhatikan dalam menginterpretasikan disini adalah bagaimana membuktikan suatu peristiwa yang bertentangan dengan peraturan yang tidak ada sanksi pidananya, adalah peristiwa yang dicela masyarakat bilamana diukur menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Seharusnyalah disini menggunakan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ilmu pengetahuan, bukan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, atau penasehat hukum atau hakim, disinilah letak pentingnya keterangan ahli yang terkait bidang permasalahan yang didakwakan.
4. Penutup
Praktek pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakan hukum masih dirasakan adanya ketidak pastian hukum atau yang dikenal dengan istilah “tebang pilih”. Pada dasarnya hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap rumusan tindak pidana tidak didasarkan pada metode interpretasi yang diajarkan oleh ilmu hukum dan yurisprudensi.
Perumusan tindak pidana korupsi yang terlalu luas, umum, terbuka sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membuka peluang untuk di interpretasikan secara ekstensif, mencakup tindak pidana lain yang fungsi dan maknanya bersifat khusus dan bukan yang dimaksudkan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dalam implementasinya perlu diadakan pembatasan dengan melakukan penghalusan hukum (rechtsverfijning).
Yurisprudensi telah memberikan interpretasi atas unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dengan menggunakan ukuran-ukuran, asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum mengenai kepatutan dalam masyarakat. Implementasi terhadap interpretasi ini seyogyanya menggunakan ukuran-ukuran obyektif berdasarkan ilmu pengetahuan yang digali dari keterangan ahli, bukan dengan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim.
END NOTE:
[1]) I.F. Stone, Peradilan Socrates, Skandal Terbesar Dalam Demokrasi Athena (The trial of Socrates), diterjemahkan oleh Rahma Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 210.
[2]) Wirjono Prodjodikoro, “Salah Satu Dasar Segala Hukum Adalah Rasa Keadilan”, dalam Bunga Rampai Hukum – Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974, hal. 28.
[3] Ibid., hal 205-206
[4] Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,Yogyakarta,1986, hal 140-141.
[5] Mochtar Kusumaatmaja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,Buku 1,Alumni, Bandung, 2000, hal 106-107.
[6] Sudikno Mertokusumo, op.cit.hal.142
[7] Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta,op.cit.,hal 106
[8] Ibid.,hal 107
[9] Sudikno Mertokusumo,op.cit.,hal 145
[10] Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan,Erlangga, Jakarta 1985 hal 247
[11] Oemar Seno Adji, Ibid hal 248-249 dan 260
[12] Lili Rasyidi dan I.B. Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal 83.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia. Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1984.
___________, Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Akademika Presindo, Jakarta, 1984.
___________, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,1994.
___________, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Jakarta.
Lili Rasyidi dan I.B. Wyan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung 1999
Mahkamah Agung R.I., Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, 1993.
Mochtar Kusumaatmdja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Alumni Bandung, 2000.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
___________, Hukum Pidana. Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
___________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, 1985.
___________, Hukum – Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980.
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional (Bagian Kesatu), Binacipta, Bandung, 1998.
Syed Hussain Alatas; Korupsi. Sifat, Sebab dan Fungsi (Corruption its Nature,
Causes and Functions) - diterjemahkan oleh Nirwono, LP-3ES, Jakarta,
1987.
Stoen, I.F., Peradilan Socrates. Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena. (The Trial of Socrates) – diterjemahkan oleh Rahmah Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, cet. 6, 1989.
___________, Bunga Rampai Hukum. Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, cet. 1, 1974.
(Penulis Lahir di Madiun, 12 Juni 1945. Riwayat pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Jurusan Kepidanaan Tahun 1970, Magíster Hukum UNPAD (Universitas Padjajaran) Bandung Tahun 2002, Kursus Regular Angkatan (KRA) XXVIII LEMHANNAS (Lembaga Ketahanan Nasional) tahun 1995.
Riwayat pekerjaan penulis : Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (1998-1999), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (1999 - 2000), Staff Ahli Jaksa Agung R.I (2000 – 1 Juli 2005), dan Sejak tahun 2005 Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil (Jaksa) bekerja sebagai Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Konsultan/Staff Ahli Kantor PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), Anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan.)
Jumat, 14 Mei 2010
KLASIFIKASI DAN NILAI DARI PERBANDINGAN HUKUM
KLASIFIKASI DAN NILAI DARI PERBANDINGAN HUKUM
Pan Mohamad Faiz*
Perbandingan hukum, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, merupakan suatu karakter yang modern. Tetapi dalam hal ini tidak terdapat keraguan adanya kenyataan bahwa mulai terdapat kecenderungan untuk melihat berbagai hukum di negara lain, bahkan hal tersebut telah dimulai sejak masa dahulu. Pada waktu yang bersamaan terdapat banyak contoh untuk membuktikan bahwa berbagai sistem hukum di dunia pada awalnya tidak menganjurkan untuk melakukan studi perbandingan mengenai hukum di negara lain.
Hukum Romawi sekalipun tidaklah menyediakan dorongan untuk mengembangkan perbandingan hukum karena hukum Romawi bukanlah hasil dari proses perbandingan terhadap hukum-hukum negara lain. “Corpus Juris Civilise” yang merepresentasikan hukum Romawi mengandung ungkapan yang datang dari para kaisar. Begitu pula dengan istilah “edicta” merupakan hasil pemberian langsung dari mereka sebagai kepala negara, atau “rescripta” yaitu jawaban yang diberikan oleh para kaisar ketika berkonsultasi mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum oleh berbagai pihak ataupun oleh para hakim.
Bangsa Romawi mendeskripsikan sistem hukum mereka berdasarkan dua komposisi, yaitu pertama, “seluruh bangsa”, berdasarkan Perjanjian-perjanjian Kelembagaan, di mana diatur oleh hukum; dan kedua, kebiasaan, ditentukan sebagian oleh hukum khusus mereka sendiri, dan sebagian lainnya berdasarkan hukum-hukum yang umum diberlakukan bagi umat manusia. Hukum di mana mengikat orang banyak dinamakan hukum perdata, tetapi hukum yang diangkat dengan alasan alamiah bagi seluruh umat manusia dinamakan hukum bangsa-bangsa, sebab dalam hal ini seluruh bangsa menggunakannya. “Bagian dari hukum” yang dibuat dengan alasan alamiah tersebut merupakan elemen di mana maklumat atau perintah yang termuat seharusnya telah berfungsi di dalam yurisprudensi Romawi. Di tempat lain hal tersebut dibahasakan secara lebih mudah melalui istilah “Jus Naturale” atau hukum alam, dan peraturan-peraturannya disandarkan pada kewajaran alamiah (natural aquitas) sebagaimana juga dengan alasan alamiah.
Di lain pihak, common law Inggris secara keseluruhan telah membuka diri terhadap perkembangan mengenai perbandingan hukum. Ahli hukum pertama diantara para penganjur lainnya yaitu Leibnitz. Ia berusaha untuk melakukan penelitian berbagai hukum dari negara-negara yang civilized. Walaupun pada akhirnya ia tidak terlalu berhasil dalam usahanya itu namun hal tersebut telah memiliki nilai akademik tersendiri. Di Inggris, Montesquieu dinobatkan sebagai pendiri dari perbandingan hukum karena ia yang pertama kali menyadari bahwa peraturan hukum seharusnya tidak diperlakukan sebagai hal yang abstrak, tetapi harus ditempatkan secara berlawanan dengan latar belakang dari sejarahnya dan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungannya di mana harus pula disesuaikan dengan fungsinya. Di dalam bukunya yang terkenal, “Del Espirit des”, ia mengemukakan bahwa pada akhirnya hukum-hukum di dunia akan gagal mencapai tujuannya. Asal usul dari perbandingan hukum pada awalnya dapat diikuti dari abad pertengahan kesembilan belas. Gagasan untuk mempelajari hukum negara lain tidaklah dianjurkan oleh ahli sejarah ilmu hukum. Hal tersebut bukan hanya terhadap perkembangan dari kodifikasi hukum tetapi juga apapun yang dilakukan atas nama mempelajari hukum negara lain. Beberapa usaha telah dilakukan di Perancis dan Paris di mana ruang untuk mempelajari perbandingan hukum dan perbandingan kriminal didirikan pada tahun 1832 dan 1846.
Sedangkan di Amerika sendiri telah terdapat permusuhan yang cukup besar terhadap apapun yang berhubungan dengan hukum Inggris. Dengan demikian, sistem hukum Amerika secara keseluruhan berusaha mengenyampingkan studi tentang hukum Inggris. Akan tetapi, Bagaimanapun juga mereka tetap mendapat sedikit bantuan dari sistem hukum Perancis.
Berbagai hasil yang mempelopori perkembangan mengenai perbandingan hukum teleh diselesaikan dan dapat kita temukan di Inggris. Lord Bacon dan Mansfield merupakan pelopor penting dalam hal ini. Hukum kuno dari Henry Maine (1861) telah membuka mata kita semua terhadap pentingnya perkembangan dari perbandingan hukum. Ia juga yang telah mengenalkan metode korelatif ke dalam sejarah kelembagaan. Pada tahun 1984 Professor di bidang perbandingan hukum dari Quain mendirikan University College, London yang kemudia pada tahun 1985 dibangun Komunitas Inggris untuk Perbandingan Peraturan Hukum.
Abad keduapuluh menandakan realisasi bahwa kebijakan untuk mengisolasi hukum bukanlah kebijakan yang baik dan bila hal tersebut dilakukan akan sangat tidak membantu terciptanya perkembangan dari adanya unifikasi hukum. Dalam beberapa tahun terakhir berbagai institusi telah didirikan untuk maksud tujuan penelitian terkait dengan perbandingan hukum. Daya upaya juga telah dilakukan untuk mempromosikan bidang ini, akan tetapi terobosan utama terkait dengan perkembangan bidang ini belum terlihat secara jelas. Namun, kegunaan dan kepentingannya telah dirasakan oleh kita semua dan keragu-raguan yang pernah terjadi terhadap keberadaannya kini hampir hilang seluruhnya. Bahkan saat ini, perbandingan hukum justru dipisahkan sebagai cabang untuk mempelajari hukum dan teknik hukum.
A. Klasifikasi Perbandingan Hukum
Untuk memahami lebih mendalam tentang perbandingan hukum, maka perlu pula kita melihat pembagian atau pengklasifikasian perbandingan hukum itu sendiri menurut beberapa ahli ternama.
1. Klasifikasi menurut Prof. Lambert’s
Prof. Lambert mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi tiga bagian:
a. Perbandingan Hukum secara Deskriptif
b. Perbandingan mengenai Sejarah Hukum
c. Perbandingan mengenai Peraturan Hukum
Perbandingan hukum secara deskriptif mencoba untuk mengeinventarisasi sistem hukum pada masa lalu dan masa kini sebagai satu kesatuan maupun peraturan terpisah lainnya, di mana dalam sistem tersebut dibuat beberapa kategori hubungan hukum.
Perbandingan mengenai sejarah hukum mencoba untuk menemukan irama atau hukum alam dengan cara membangun sejarah hukum secara universal sebagai rangkaian dari fenomena sosial yang secara langsung melihat perkembangan dari pelembagaan hukum.
Perbandingan mengenai peraturan hukum atau perbandingan yurisprudensi mencoba untuk menjelaskan mengenai batang tubuh secara umum di mana doktrin hukum nasional diperuntukan untuk mencabangkan hukum itu sendiri sebagai hasil dari perkembangan studi hukum dan bangkitnya kesadaran akan hukum internasional.
2. Klasifikasi menurut Wigmore
Wigmore membagi perbandingan hukum menjadi tiga kategori:
a. Perbandingan Nomoscopy
b. Perbandingan Nomothetics
c. Perbandingan Nomogenetics
Perbandingan nomoscopy memastikan dan menjelaskan sistem hukum lainnya sebagai sebuah fakta. Perbandingan ini menaruh perhatian pada deskripsi secara formal hukum di berbagai sistem hukum.
Perbandingan nomothetics mencoba untuk memastikan politik dan manfaat relatif dari institusi yang berbeda dengan suatu pandangan untuk memperbaiki peraturan hukum. Dengan kata lain, perbandingan ini membuat penaksiran dari manfaat-manfaat relatif dari peraturan hukum berdasarkan perbandingan.
Perbandingan nomogenetics mencoba untuk mengikuti jejak perkembangan dari berbagai sistem dalam hubungannya dengan kronologi dan sebab-sebab lainnya. Dengan kata lain, perbandingan ini menaruh perhatian untuk mempelajari perkembangan sistem-sistem hukum yang berhubungan satu sama lainnya.
3. Klasifikasi menurut Kaden
Kaden mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:
a. Perbandingan Formal (Formelle Rechstver Gleichung)
b. Perbandingan Dogmatik (Dogmatische Rechsvergleichung)
Perbandingan formal merupakan perbandingan berdasarkan penelitian terhadap sumber-sumber hukum, misalnya, bobot substansi yang diberikan pada berbagai sistem terhadap peraturan hukum, perkara hukum dan kebiasaan, serta aplikasi dari metode yang berbeda tentang teknik hukum guna menafsirkan berbagai peraturan. Metode ini, dengan kata lain, melihat berbagai sistem yang berbeda dari peraturan hukum dan kebiasaan serta berbagai teknik untuk melakukan interpretasi terhadap peraturan-peraturan hukum.
Perbandingan dogmatik meletakan perhatiannya dengan memberikan berbagai solusi dari masalah yang dialami oleh sistem hukum yang berbeda. Metode ini memastikan adanya pengaplikasian hasil berdasarkan perbandingan berbagai masalah hukum di suatu negara.
4. Klasifikasi menurut Kantorowicz
Ia mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:
a. Perbandingan Hukum Geografis
b. Perbandingan Hukum Materiil
c. Perbandingan Hukum Metodis
Perbandingan hukum geografis secara tidak langsung melakukan penelitian dengan mencari persamaan struktur hukum secara umum di berbagai sistem hukum.
Perbandingan hukum materiil yaitu penelitian dengan memperbandingkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan substansi pokok hukum. Perbandingan hukum metodis yaitu proses di mana tidak sepenuhnya merupakan analisa, namun mempunyai peranan penting untuk melihat secara sistematik substansi pokok hukum.
5. Klasifikasi menurut Max Rheinstein
Rheinstein telah membagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:
a. Perbandingan Makro
b. Perbandingan Mikro
Perbandingan makro, yaitu perbandingan dengan penekanan pada keseluruhan sistem hukum, seperti, “Anglo-Amerika Common Law”, “Civil Law, atau dengan Hukum Romawi, sebagaimana diterapkan di Perancis dan Jerman. Perbandingan mikro memberikan penekanan pada peraturan hukum secara menyeluruh beserta lembaganya pada dua atau lebih sistem hukum.
6. Klasifikasi menurut Gutteridge
Gutteridge mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi dua bagian:
a. Perbandingan Hukum secara Deskriptif
b. Perbandingan Hukum yang dapat Digunakan
Perbandingan hukum secara deskriptif menyangkut dengan deskripsi dari bermacam-macam fakta hukum yang ditemukan di berbagai negara. Perbandingan ini tidak tersangkut paut dengan hasil dari perbandingan. Fungsi utama dari perbandingan hukum secara deskriptif ini adalah untuk menemukan perbedaan antara dua atau lebih sistem hukum terhadap permasalah hukum secara tersendiri. Bagi Gutteridge, hal ini tidaklah cukup untuk dinyatakan sebagai suatu penelitian hukum. Gutteridge menyatakan:
“Perbandingan hukum secara deskriptif berbeda dengan perbandingan hukum yang dapat digunakan sebab perbandingan ini lebih mengkhususkan untuk menganalisa variasi antara hukum dari dua negara atau lebih, di mana hal ini tidak secara langsung menghasilkan solusi dari permasalahan yang ada, baik itu secara abstrak maupun dalam tataran praktik alamiah. Perbandingan tersebut tidak mempunyai tujuan lain selain memberikan informasi dan bukanlah kewajiban dari orang yang melakukan penelitian tersebut untuk memastikan apa yang kemduian harus dilakukan terhadap hasil penelitiannya tersebut.”
Perbandingan Hukum yang dapat digunakan terkait dengan pemeriksaan dari fakta-fakta hukum dengan tujuan untuk memperoleh hasil. Hal ini patut dihargai untuk dinyatakan sebagai penelitian hukum, sebab penelitian tersebut akan memberikan suatu kesimpulan dan menggambarkan perbandingan dari berbagai fakta hukum setelah melakukan analisa dan studi yang tepat dan hati-hati. Perbandingan hukum ini merupakan praktik alamiah yang merupakan metode untuk mencapai berbagai tujuan, seperti, reformasi hukum, unifkasi hukum, dan lain sebaginya. Dalam hal ini, prosesnya tidaklah mudah dan hanya ahli hukum yang berpengalaman yang dapat menggunakan metode ini.
7. Perbandingan Kelembagaan dan Fungsional
Ketidaksamaan terhadap sifat dan lingkup dari perbandingan hukum sangatlah serius sehingga lebih banyak klasifikasi yang dapat ditambahkan dalam studinya. Mempertimbangkan aktifitas dari perbandingan hukum dan bidang studinya, di terkait dengan lingkup perbandingan, maka dapat dilakukan melalui dua bentuk. Pertama, mempelajari dan membandingkan pelembagaan hukum dari dua atau lebih sistem hukum, yang dikenal dengan isitlah perbandingan kelembagaan; dan kedua yaitu perbandingan fungsional mengenai perbandingan peraturan hukum secara lebih terperinci, misalnya fungsi-fungsi dari hukum dan lembaga terkaitnya.
Perbandingan kelembagaan, dikenal juga dengan perbandingan struktur, adalah perbandingan terhadap lembaga yang mempunyai hubungan dengan hukum. Dalam metode ini terkait dengan fenomena dari sistem peradilan, konstitusi, pengangkatan dan pemindahan para hakim, pengacara, struktur dan sumber-seumber hukum, dan lain sebaginya. Metode perbandingan ini mencoba untuk mengklarifikasi dan membuktikan baik itu persamaan maupun perbedaan dari pelembagaan hukum tersebut, di mana hukum yang dibuat telah dijalankan di negara-negara berdasarkan hasil studi. Setelah mengadopsi perbandingan dari jenis tersebut, jika salah satunya dikembangkan lebih lanjut dan kemudian mencoba untuk mencari karakteristik khusus dari lembaga-lembaga itu, maka ia meletakan dirinya dalam bidang perbandingan fungsional.
Perbandingan fungsional yaitu studi dari proses dan kandungan hukum serta pelaksanaan riil dari berbagai fungsi yang ditawarkan oleh bermacam sistem hukum. Di sini, peraturan hukum beserta penyebab dan akibatnya akan dipelajari. Dengan demikian, jika seseorang memeriksa suatu masalah khusus dari hukum pidana Indonesia dengan negara lainnya, perbandingan tersebut dinamakan perbandingan fungsional.
B. Nilai, Tujuan dan Kelemahan dari Perbandingan Hukum
Secara garis besar kegunaan, beberapa nilai dan tujuan dari perbandingan hukum adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman akan hukum yang lebih baik;
2. Membantu dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum lainnya;
3. Membantu pembentukan hukum dalam sistem peradilan;
4. Membantu para pengacara untuk berpraktik;
5. berguna dalam hal hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain.
Selain mempunyai kegunaan yang cukup signifikan untuk mengembangkan hukum di suatu negara, tetapi tidak dapat pula dielakan bahwa terdapat beberapa kelemahan mengenai pokok permasalahan dalam melakukan perbandingan hukum, diantaranya yaitu:
1. Proses yang sangat sulit;
2. Tidak tersedianya bahan studi;
3. Minimnya ahli di bidang ini;
4. Kesulitan dan bahasa;
5. Perbedaan mengenai istilah dan perlakuan hukum;
6. Tidak terdapat standarisasi teknik dalam perbandingan;
7. Rentan dengan hasil yang keliru.
KESIMPULAN
Terdapat beberapa hal penting yang perlu kita ingat terkait dengan topik perbandingan hukum (1) dan (2), diantaranya yaitu:
1. Perbandingan adalah sumber yang sangat penting dalam perbandingan dan memahami sesuatu.
2. Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan pebelitian dengan cara memperbandingkan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum dari satu negara atau lebih.
3. Perbandingan hukum bergerak pada pertanyan ilmiah dan juga merupakan metode studi.
4. Fungsi utama dari perbandingan yurisprudensi yaitu untuk memfasilitasi legislasi dan perbaikan hukum secara praktis.
5. Para pencetus dan ahli perbandingan hukum banyak dilakukan di England.
6. Berbagai ahli hukum telah memberikan perbedaan klasifikasi dari perbandingan hukum.
7. Klasifikasi oleh Gutteridge mengenai perbandingan hukum dipertimbangkan sebagai salah satu yang mempunyai nilai keseimbangan.
8. Terdapat beberapa tujuan dan perbandingan hukum. Tujuan terpenting dan secara umum diterima yaitu untuk meningkatkan pemahaman akan sistem hukum dari negara lain.
9. Terdapat juga beberapa kelemahan dari perbandingan hukum yang dapat menghambat pertumbuhan dari perbandingan hukum.
10. Perbandingan merupakan proses yang berbeda dengan teknik lain. Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus, pelatihan dan kualifikasi.
[1] Diterbitkan dibawah kewenangan Kaisar Justinian.
[2] J.H. Wihmore: A Panorama of World’s Legal System, Saint Paul, Vol. iii, hal. 1120.
[3] Rechtsvergleichendes Handworterbuch, Vol. IV, p. 17.
[4] Problemender straf rechstver gleichung sebagaimana dijelaskan oleh Gutteridge in Comparative Law, hal. 7.
[5] Comparative Law and Legal System, The International Encyclopedia of Social Sciences.
[6] Comparative Law, Edisi ke-2, hal. 8.
[7] Ibid, hal. 9.
Pan Mohamad Faiz*
Perbandingan hukum, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, merupakan suatu karakter yang modern. Tetapi dalam hal ini tidak terdapat keraguan adanya kenyataan bahwa mulai terdapat kecenderungan untuk melihat berbagai hukum di negara lain, bahkan hal tersebut telah dimulai sejak masa dahulu. Pada waktu yang bersamaan terdapat banyak contoh untuk membuktikan bahwa berbagai sistem hukum di dunia pada awalnya tidak menganjurkan untuk melakukan studi perbandingan mengenai hukum di negara lain.
Hukum Romawi sekalipun tidaklah menyediakan dorongan untuk mengembangkan perbandingan hukum karena hukum Romawi bukanlah hasil dari proses perbandingan terhadap hukum-hukum negara lain. “Corpus Juris Civilise” yang merepresentasikan hukum Romawi mengandung ungkapan yang datang dari para kaisar. Begitu pula dengan istilah “edicta” merupakan hasil pemberian langsung dari mereka sebagai kepala negara, atau “rescripta” yaitu jawaban yang diberikan oleh para kaisar ketika berkonsultasi mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum oleh berbagai pihak ataupun oleh para hakim.
Bangsa Romawi mendeskripsikan sistem hukum mereka berdasarkan dua komposisi, yaitu pertama, “seluruh bangsa”, berdasarkan Perjanjian-perjanjian Kelembagaan, di mana diatur oleh hukum; dan kedua, kebiasaan, ditentukan sebagian oleh hukum khusus mereka sendiri, dan sebagian lainnya berdasarkan hukum-hukum yang umum diberlakukan bagi umat manusia. Hukum di mana mengikat orang banyak dinamakan hukum perdata, tetapi hukum yang diangkat dengan alasan alamiah bagi seluruh umat manusia dinamakan hukum bangsa-bangsa, sebab dalam hal ini seluruh bangsa menggunakannya. “Bagian dari hukum” yang dibuat dengan alasan alamiah tersebut merupakan elemen di mana maklumat atau perintah yang termuat seharusnya telah berfungsi di dalam yurisprudensi Romawi. Di tempat lain hal tersebut dibahasakan secara lebih mudah melalui istilah “Jus Naturale” atau hukum alam, dan peraturan-peraturannya disandarkan pada kewajaran alamiah (natural aquitas) sebagaimana juga dengan alasan alamiah.
Di lain pihak, common law Inggris secara keseluruhan telah membuka diri terhadap perkembangan mengenai perbandingan hukum. Ahli hukum pertama diantara para penganjur lainnya yaitu Leibnitz. Ia berusaha untuk melakukan penelitian berbagai hukum dari negara-negara yang civilized. Walaupun pada akhirnya ia tidak terlalu berhasil dalam usahanya itu namun hal tersebut telah memiliki nilai akademik tersendiri. Di Inggris, Montesquieu dinobatkan sebagai pendiri dari perbandingan hukum karena ia yang pertama kali menyadari bahwa peraturan hukum seharusnya tidak diperlakukan sebagai hal yang abstrak, tetapi harus ditempatkan secara berlawanan dengan latar belakang dari sejarahnya dan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungannya di mana harus pula disesuaikan dengan fungsinya. Di dalam bukunya yang terkenal, “Del Espirit des”, ia mengemukakan bahwa pada akhirnya hukum-hukum di dunia akan gagal mencapai tujuannya. Asal usul dari perbandingan hukum pada awalnya dapat diikuti dari abad pertengahan kesembilan belas. Gagasan untuk mempelajari hukum negara lain tidaklah dianjurkan oleh ahli sejarah ilmu hukum. Hal tersebut bukan hanya terhadap perkembangan dari kodifikasi hukum tetapi juga apapun yang dilakukan atas nama mempelajari hukum negara lain. Beberapa usaha telah dilakukan di Perancis dan Paris di mana ruang untuk mempelajari perbandingan hukum dan perbandingan kriminal didirikan pada tahun 1832 dan 1846.
Sedangkan di Amerika sendiri telah terdapat permusuhan yang cukup besar terhadap apapun yang berhubungan dengan hukum Inggris. Dengan demikian, sistem hukum Amerika secara keseluruhan berusaha mengenyampingkan studi tentang hukum Inggris. Akan tetapi, Bagaimanapun juga mereka tetap mendapat sedikit bantuan dari sistem hukum Perancis.
Berbagai hasil yang mempelopori perkembangan mengenai perbandingan hukum teleh diselesaikan dan dapat kita temukan di Inggris. Lord Bacon dan Mansfield merupakan pelopor penting dalam hal ini. Hukum kuno dari Henry Maine (1861) telah membuka mata kita semua terhadap pentingnya perkembangan dari perbandingan hukum. Ia juga yang telah mengenalkan metode korelatif ke dalam sejarah kelembagaan. Pada tahun 1984 Professor di bidang perbandingan hukum dari Quain mendirikan University College, London yang kemudia pada tahun 1985 dibangun Komunitas Inggris untuk Perbandingan Peraturan Hukum.
Abad keduapuluh menandakan realisasi bahwa kebijakan untuk mengisolasi hukum bukanlah kebijakan yang baik dan bila hal tersebut dilakukan akan sangat tidak membantu terciptanya perkembangan dari adanya unifikasi hukum. Dalam beberapa tahun terakhir berbagai institusi telah didirikan untuk maksud tujuan penelitian terkait dengan perbandingan hukum. Daya upaya juga telah dilakukan untuk mempromosikan bidang ini, akan tetapi terobosan utama terkait dengan perkembangan bidang ini belum terlihat secara jelas. Namun, kegunaan dan kepentingannya telah dirasakan oleh kita semua dan keragu-raguan yang pernah terjadi terhadap keberadaannya kini hampir hilang seluruhnya. Bahkan saat ini, perbandingan hukum justru dipisahkan sebagai cabang untuk mempelajari hukum dan teknik hukum.
A. Klasifikasi Perbandingan Hukum
Untuk memahami lebih mendalam tentang perbandingan hukum, maka perlu pula kita melihat pembagian atau pengklasifikasian perbandingan hukum itu sendiri menurut beberapa ahli ternama.
1. Klasifikasi menurut Prof. Lambert’s
Prof. Lambert mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi tiga bagian:
a. Perbandingan Hukum secara Deskriptif
b. Perbandingan mengenai Sejarah Hukum
c. Perbandingan mengenai Peraturan Hukum
Perbandingan hukum secara deskriptif mencoba untuk mengeinventarisasi sistem hukum pada masa lalu dan masa kini sebagai satu kesatuan maupun peraturan terpisah lainnya, di mana dalam sistem tersebut dibuat beberapa kategori hubungan hukum.
Perbandingan mengenai sejarah hukum mencoba untuk menemukan irama atau hukum alam dengan cara membangun sejarah hukum secara universal sebagai rangkaian dari fenomena sosial yang secara langsung melihat perkembangan dari pelembagaan hukum.
Perbandingan mengenai peraturan hukum atau perbandingan yurisprudensi mencoba untuk menjelaskan mengenai batang tubuh secara umum di mana doktrin hukum nasional diperuntukan untuk mencabangkan hukum itu sendiri sebagai hasil dari perkembangan studi hukum dan bangkitnya kesadaran akan hukum internasional.
2. Klasifikasi menurut Wigmore
Wigmore membagi perbandingan hukum menjadi tiga kategori:
a. Perbandingan Nomoscopy
b. Perbandingan Nomothetics
c. Perbandingan Nomogenetics
Perbandingan nomoscopy memastikan dan menjelaskan sistem hukum lainnya sebagai sebuah fakta. Perbandingan ini menaruh perhatian pada deskripsi secara formal hukum di berbagai sistem hukum.
Perbandingan nomothetics mencoba untuk memastikan politik dan manfaat relatif dari institusi yang berbeda dengan suatu pandangan untuk memperbaiki peraturan hukum. Dengan kata lain, perbandingan ini membuat penaksiran dari manfaat-manfaat relatif dari peraturan hukum berdasarkan perbandingan.
Perbandingan nomogenetics mencoba untuk mengikuti jejak perkembangan dari berbagai sistem dalam hubungannya dengan kronologi dan sebab-sebab lainnya. Dengan kata lain, perbandingan ini menaruh perhatian untuk mempelajari perkembangan sistem-sistem hukum yang berhubungan satu sama lainnya.
3. Klasifikasi menurut Kaden
Kaden mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:
a. Perbandingan Formal (Formelle Rechstver Gleichung)
b. Perbandingan Dogmatik (Dogmatische Rechsvergleichung)
Perbandingan formal merupakan perbandingan berdasarkan penelitian terhadap sumber-sumber hukum, misalnya, bobot substansi yang diberikan pada berbagai sistem terhadap peraturan hukum, perkara hukum dan kebiasaan, serta aplikasi dari metode yang berbeda tentang teknik hukum guna menafsirkan berbagai peraturan. Metode ini, dengan kata lain, melihat berbagai sistem yang berbeda dari peraturan hukum dan kebiasaan serta berbagai teknik untuk melakukan interpretasi terhadap peraturan-peraturan hukum.
Perbandingan dogmatik meletakan perhatiannya dengan memberikan berbagai solusi dari masalah yang dialami oleh sistem hukum yang berbeda. Metode ini memastikan adanya pengaplikasian hasil berdasarkan perbandingan berbagai masalah hukum di suatu negara.
4. Klasifikasi menurut Kantorowicz
Ia mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:
a. Perbandingan Hukum Geografis
b. Perbandingan Hukum Materiil
c. Perbandingan Hukum Metodis
Perbandingan hukum geografis secara tidak langsung melakukan penelitian dengan mencari persamaan struktur hukum secara umum di berbagai sistem hukum.
Perbandingan hukum materiil yaitu penelitian dengan memperbandingkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan substansi pokok hukum. Perbandingan hukum metodis yaitu proses di mana tidak sepenuhnya merupakan analisa, namun mempunyai peranan penting untuk melihat secara sistematik substansi pokok hukum.
5. Klasifikasi menurut Max Rheinstein
Rheinstein telah membagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:
a. Perbandingan Makro
b. Perbandingan Mikro
Perbandingan makro, yaitu perbandingan dengan penekanan pada keseluruhan sistem hukum, seperti, “Anglo-Amerika Common Law”, “Civil Law, atau dengan Hukum Romawi, sebagaimana diterapkan di Perancis dan Jerman. Perbandingan mikro memberikan penekanan pada peraturan hukum secara menyeluruh beserta lembaganya pada dua atau lebih sistem hukum.
6. Klasifikasi menurut Gutteridge
Gutteridge mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi dua bagian:
a. Perbandingan Hukum secara Deskriptif
b. Perbandingan Hukum yang dapat Digunakan
Perbandingan hukum secara deskriptif menyangkut dengan deskripsi dari bermacam-macam fakta hukum yang ditemukan di berbagai negara. Perbandingan ini tidak tersangkut paut dengan hasil dari perbandingan. Fungsi utama dari perbandingan hukum secara deskriptif ini adalah untuk menemukan perbedaan antara dua atau lebih sistem hukum terhadap permasalah hukum secara tersendiri. Bagi Gutteridge, hal ini tidaklah cukup untuk dinyatakan sebagai suatu penelitian hukum. Gutteridge menyatakan:
“Perbandingan hukum secara deskriptif berbeda dengan perbandingan hukum yang dapat digunakan sebab perbandingan ini lebih mengkhususkan untuk menganalisa variasi antara hukum dari dua negara atau lebih, di mana hal ini tidak secara langsung menghasilkan solusi dari permasalahan yang ada, baik itu secara abstrak maupun dalam tataran praktik alamiah. Perbandingan tersebut tidak mempunyai tujuan lain selain memberikan informasi dan bukanlah kewajiban dari orang yang melakukan penelitian tersebut untuk memastikan apa yang kemduian harus dilakukan terhadap hasil penelitiannya tersebut.”
Perbandingan Hukum yang dapat digunakan terkait dengan pemeriksaan dari fakta-fakta hukum dengan tujuan untuk memperoleh hasil. Hal ini patut dihargai untuk dinyatakan sebagai penelitian hukum, sebab penelitian tersebut akan memberikan suatu kesimpulan dan menggambarkan perbandingan dari berbagai fakta hukum setelah melakukan analisa dan studi yang tepat dan hati-hati. Perbandingan hukum ini merupakan praktik alamiah yang merupakan metode untuk mencapai berbagai tujuan, seperti, reformasi hukum, unifkasi hukum, dan lain sebaginya. Dalam hal ini, prosesnya tidaklah mudah dan hanya ahli hukum yang berpengalaman yang dapat menggunakan metode ini.
7. Perbandingan Kelembagaan dan Fungsional
Ketidaksamaan terhadap sifat dan lingkup dari perbandingan hukum sangatlah serius sehingga lebih banyak klasifikasi yang dapat ditambahkan dalam studinya. Mempertimbangkan aktifitas dari perbandingan hukum dan bidang studinya, di terkait dengan lingkup perbandingan, maka dapat dilakukan melalui dua bentuk. Pertama, mempelajari dan membandingkan pelembagaan hukum dari dua atau lebih sistem hukum, yang dikenal dengan isitlah perbandingan kelembagaan; dan kedua yaitu perbandingan fungsional mengenai perbandingan peraturan hukum secara lebih terperinci, misalnya fungsi-fungsi dari hukum dan lembaga terkaitnya.
Perbandingan kelembagaan, dikenal juga dengan perbandingan struktur, adalah perbandingan terhadap lembaga yang mempunyai hubungan dengan hukum. Dalam metode ini terkait dengan fenomena dari sistem peradilan, konstitusi, pengangkatan dan pemindahan para hakim, pengacara, struktur dan sumber-seumber hukum, dan lain sebaginya. Metode perbandingan ini mencoba untuk mengklarifikasi dan membuktikan baik itu persamaan maupun perbedaan dari pelembagaan hukum tersebut, di mana hukum yang dibuat telah dijalankan di negara-negara berdasarkan hasil studi. Setelah mengadopsi perbandingan dari jenis tersebut, jika salah satunya dikembangkan lebih lanjut dan kemudian mencoba untuk mencari karakteristik khusus dari lembaga-lembaga itu, maka ia meletakan dirinya dalam bidang perbandingan fungsional.
Perbandingan fungsional yaitu studi dari proses dan kandungan hukum serta pelaksanaan riil dari berbagai fungsi yang ditawarkan oleh bermacam sistem hukum. Di sini, peraturan hukum beserta penyebab dan akibatnya akan dipelajari. Dengan demikian, jika seseorang memeriksa suatu masalah khusus dari hukum pidana Indonesia dengan negara lainnya, perbandingan tersebut dinamakan perbandingan fungsional.
B. Nilai, Tujuan dan Kelemahan dari Perbandingan Hukum
Secara garis besar kegunaan, beberapa nilai dan tujuan dari perbandingan hukum adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman akan hukum yang lebih baik;
2. Membantu dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum lainnya;
3. Membantu pembentukan hukum dalam sistem peradilan;
4. Membantu para pengacara untuk berpraktik;
5. berguna dalam hal hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain.
Selain mempunyai kegunaan yang cukup signifikan untuk mengembangkan hukum di suatu negara, tetapi tidak dapat pula dielakan bahwa terdapat beberapa kelemahan mengenai pokok permasalahan dalam melakukan perbandingan hukum, diantaranya yaitu:
1. Proses yang sangat sulit;
2. Tidak tersedianya bahan studi;
3. Minimnya ahli di bidang ini;
4. Kesulitan dan bahasa;
5. Perbedaan mengenai istilah dan perlakuan hukum;
6. Tidak terdapat standarisasi teknik dalam perbandingan;
7. Rentan dengan hasil yang keliru.
KESIMPULAN
Terdapat beberapa hal penting yang perlu kita ingat terkait dengan topik perbandingan hukum (1) dan (2), diantaranya yaitu:
1. Perbandingan adalah sumber yang sangat penting dalam perbandingan dan memahami sesuatu.
2. Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan pebelitian dengan cara memperbandingkan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum dari satu negara atau lebih.
3. Perbandingan hukum bergerak pada pertanyan ilmiah dan juga merupakan metode studi.
4. Fungsi utama dari perbandingan yurisprudensi yaitu untuk memfasilitasi legislasi dan perbaikan hukum secara praktis.
5. Para pencetus dan ahli perbandingan hukum banyak dilakukan di England.
6. Berbagai ahli hukum telah memberikan perbedaan klasifikasi dari perbandingan hukum.
7. Klasifikasi oleh Gutteridge mengenai perbandingan hukum dipertimbangkan sebagai salah satu yang mempunyai nilai keseimbangan.
8. Terdapat beberapa tujuan dan perbandingan hukum. Tujuan terpenting dan secara umum diterima yaitu untuk meningkatkan pemahaman akan sistem hukum dari negara lain.
9. Terdapat juga beberapa kelemahan dari perbandingan hukum yang dapat menghambat pertumbuhan dari perbandingan hukum.
10. Perbandingan merupakan proses yang berbeda dengan teknik lain. Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus, pelatihan dan kualifikasi.
[1] Diterbitkan dibawah kewenangan Kaisar Justinian.
[2] J.H. Wihmore: A Panorama of World’s Legal System, Saint Paul, Vol. iii, hal. 1120.
[3] Rechtsvergleichendes Handworterbuch, Vol. IV, p. 17.
[4] Problemender straf rechstver gleichung sebagaimana dijelaskan oleh Gutteridge in Comparative Law, hal. 7.
[5] Comparative Law and Legal System, The International Encyclopedia of Social Sciences.
[6] Comparative Law, Edisi ke-2, hal. 8.
[7] Ibid, hal. 9.
Minggu, 18 April 2010
ASAS NON-RETROAKTIF
Asas Non-Retroaktif
Oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., Ll.M.
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.
Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.
Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.
Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.
Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.
Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.
Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).
Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka – sekalipun dengan pro dan kontra – tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan – dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.
Oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., Ll.M.
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.
Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.
Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.
Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.
Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.
Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.
Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).
Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka – sekalipun dengan pro dan kontra – tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan – dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.
CYBER CRIME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (information technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “dunia maya” ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat moderen saat ini dan masa depan. Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang berhubungan dengan “cybercrime” atau kejahatan mayantara. Masalah kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa belum ada kerangka yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjerat sang pelaku di dunia cyber karena sulitnya pembuktian. Belum ada pilar hukum yang mampu menangani tindak kejahatan mayantara ini (paling tidak untuk saat ini). Terlebih sosialisasi mengenai hukum cyber dimasyarakat masih sangat minim. Bandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura atau Amerika yang telah mempunyai Undang-undang yang menetapkan ketentuan dunia cyber. Atau bahkan negara seperti India yang sudah mempunyai “polisi Cyber”. Kendati beberapa rancangan Undang-undang telah diusulkan ke DPR, namun hasil yang signifikan belum terwujud, terlebih belum tentu ada kesesuaian antara undang-undang yang akan dibuat dengan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of
Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan, maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime.
Jadi karena kejahatan dalam dunia maya(cyber crime) sangat penting sebagai kejahatan baru,maka dalam makalah kami ini akan dijelaskan beberapa hal penting terkait dengan cyber crime agar penanganannya dapat diselesaikan dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime?
2. apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia?
3. bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia?
4. mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia.
3. Untuk mengetahui bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia
4. Untuk mengetahui mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Jenis Kejahatan Cyber Crime
Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan yang dapat
dihukum berdasarkan KUHP dan undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
Kalau berdasarkan Pada Kongres PBB ke X tahun 2000, pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga
menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi
tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik.
Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas. Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi
menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis yaitu
• kejahatan dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi.
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata
dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:
a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk
pencurian waktu operasi komputer.
b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.
d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data atau output data.
f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.
Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12). Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cybercrime ini.
B. Makna dan Perkembangan Kejahatan cyber crime
Adanya penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat moderen sebagai dampak dari pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology). Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini. Semua ini dapat dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam kemajuan suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan negara yang menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”, baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum internasional maupun teknologi persenjataan militer untuk pertahanan dan keamanan negara bahkan kebutuhan intelijen. Contohnya adalah teknologi yang dimiliki Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Israel.
Supaya masalah penyalahgunaan teknologi ini tidak menjadi keresahan sosial bagi masyarakat luas, seyogianya implementasi hukum di dalam kehidupan masyarakat moderen yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang ini dan masa akan datang yang tidak mungkin untuk diberantas tuntas.
Suatu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi suatu tradisi atau budaya yang selalu mengancam dalam setiap saat kehidupan masyarakat. Di sini perlu ada semacam batasan hukum yang tegas di dalam menanggulangi dampak sosial, ekonomi dan hukum dari kemajuan teknologi moderen yang tidak begitu mudah ditangani oleh aparat penegak hukum di negara berkembang seperti halnya Indonesia yang membutuhkan perangkat hukum yang jelas dan tepat dalam mengantisipasi setiap bentuk perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Kemampuan hukum pidana menghadapi perkembangan masyarakat moderen amat dibutuhkan mengingat pendapat Herbert L. Packer “We live today in a state of hyper-consciousness about the real of fancied breakdown of social control over the most basic threats to person and proverty”. Artinya, dewasa ini kita hidup dalam suatu negara dengan kecurigaan tinggi seputar kenyataan pengendalian sosial dari khayalan melebihi ancaman paling dasar terhadap orang dan harta benda. Roberto Mangabeira Unger pernah mengemukakan, “the rule of law is intimately associated with individual freedom, even though it fails to resolve the problem of illegitimate personal dependency in social life”. Artinya, aturan hukum merupakan lembaga pokok bagi kebebasan individu meskipun ia mengalami kegagalan untuk memecahkan masalah ketergantungan pribadi yang tidak disukai dalam kehidupan sosial. Wajar hukum harus mampu mengantisipasi setiap perkembangan pesat teknologi berikut dampak buruk yang ditimbulkannya, karena amat merugikan.
Penyalahgunaan teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya hukum pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara lain. Sarana yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan mayantara ini adalah seperangkat komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan teknologi moderen ini dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau sekelompok cracker dari rumah atau tempat tertentu tanpa diketahui oleh pihak korban. Kerugian yang dialami korban dapat berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas. Kejahatan teknologi informasi ini menurut pendapat penulis dapat digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya, kejahatan yang korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari rakyat suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan kapan saja mengingat akses teknologi mayantara pada masa depan sulit untuk menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk data negara.
Kejahatan ini beraspek pada masalah hukum internasional mengingat pendapat J.G Starke, bahwa ada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan satu sama lain dan hubungan negara-negara dengan individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. Kejahatan mayantara sudah jelas akan dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat internasional. Ini cukup berarti menurut Romli Atmasasmita, karena adanya standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak.
Segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi digital untuk kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak lain. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus komputer, pornografi orang dewasa dan anak, penyebaran e-mail bermasalah hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan mayantara tersebut amat merugikan bagi kepentingan individu, kelompok masyarakat, bangsa dan negara bahkan internasional yang mendambakan selalu terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
Seperti yang dijelaskan pada Kongres PBB ke X tahun 2000, bahwa pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Dari pengertian di atas memberikan gambaran betapa pengertian dan kriminalisasi terhadap cybercrime cukup luas yang dapat menjangkau setiap perbuatan ilegal dengan menggunakan sarana sistem dan jaringan komputer yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, supaya jelas dalam kriminalisasi terhadap cybercrime harus dibedakan antara harmonisasi materi/substansi yang dinamakan dengan tindak pidana atau kejahatan mayantara dengan harmonisasi kebijakan formulasi kejahatan tersebut. Perbedaan ini penting untuk menentukan, apakah jenis kejahatan ini akan berada di dalam atau di luar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun undang-undang pidana khusus yang membutuhkan kerangka hukum baru untuk diberlakukan secara nasional. Saat ini telah ada konsep KUHP Baru yang dapat menambahkan pasal-pasal sanksi ancaman terhadap pelaku dari kejahatan mayantara dan RUU tentang Teknologi Informasi antara lain mengatur soal yurisdiksi dan kewenangan pengadilan (Bab VIII), penyidikan (Bab X) dan ketentuan pidana (Bab XI). Pemberlakuan undang-undang ini tidak hanya untuk ius constitutum sebagai hukum positif, yakni hukum yang diberlakukan saat ini akan tetapi juga ius constituendum atau hukum masa depan..
Merujuk pada sistematika Draft Convention on Cybercrime dari Dewan Eropa (Council of Europe) yaitu Draft No. 25, Desember 2000 dimana konvensi ini ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November 2001 di Budapest, Bulgaria, maka Barda Nanawi Arief memberikan kategori cybercrime sebagai delik dalam empat hal sebagai berikut. Pertama, delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer termasuk di dalamnya (a) mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal acces), (b) tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal interception), (c) tanpa hak merusak data (data interference), (d) tanpa hak mengganggu sistem (system interference), (e) menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices). Kedua, delik-delik yang berhubungan dengan komputer berupa pemalsuan dan penipuan dengan komputer (computer related offences : forgery and fraud). Ketiga, delik-delik yang bermuatan tentang pornografi anak (content-related offences, child pornography). Keempat, delik-delik yang berhubungan dengan masalah hak cipta (offences related to infringements of copyright).
Sementara Mardjono Reksodiputro dengan mengutip pendapat Eric J. Sinrod dan William P. Reilly melihat kebijakan formulasi cybercrime dapat dilakukan dalam dua pendekatan. Pertama, menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan pemakaian teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya dengan penambahan pasal tertentu dalam konsep RUU KUHP Baru. Kedua, menganggapnya sebagai kejahatan baru (new category of crime) yang amat membutuhkan suatu kerangka hukum baru (new legal framework) dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah yurisdiksi) dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Kendati ketentuan dalam KUHP belum bisa menjangkau atau memidana para pelaku kejahatan ini dengan tepat dan undang-undang teknologi informasi belum ada yang dapat mengatur masalah penyalahgunaan teknologi, akan tetapi kejahatan mayantara harus tetap menjadi prioritas utama penegak hukum kepolisian untuk menanggulanginya. Dampak buruk teknologi menjadi masalah serius bagi umat manusia pada masa depan, apabila disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk menarik keuntungan ataupun mengacaukan data penting pihak lain bahkan negara bisa menjadi korbannya.
Keadaan ini tidak dapat dihindarkan mengingat salah satu ciri dari masyarakat moderen adalah kecenderungan untuk menggunakan teknologi dalam segenap aspek kehidupannya. Perkembangan teknologi digital tidak dapat dihentikan oleh siapa pun sebagai wujud dari hasil kebudayaan. Di sini menjadi tugas dari pihak pemerintah, penegak hukum kepolisian dan warga masyarakat untuk mampu mengantisipasi setiap bentuk kemajuan teknologi digital yang pesat sehingga dampak buruk perkembangan yang merugikan dapat ditanggulangi lebih dini.
C. Upaya Penanggulangan Kejahatan cyber crime
Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Di Inggris dan Jerman membentuk suatu institusi bersama yang ditugaskan untuk dapat menanggulangi masalah Cybercrime Investigation dengan nama National Criminal Intellegence Service (NCIS) yang bermarkas di London. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan suatu proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dibentuknya National Hi-tech Crime Unit yang dilengkapi dengan anggaran khusus untuk cyber cops. Sementara itu, Amerika Serikat membentuk pula Computer Emergency Response Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg pada tahun 1990-an dan Federal Bureau Investigation (FBI) memiliki Computer Crime Squad di dalam menanggulangi kejahatan mayantara. Beberapa negara Asia lain ternyata telah maju selangkah dengan membentuk perangkat undang-undang teknologi informasi seperti The Computer Crime Act 1997 (Malaysia), The Computer Misuse Act 1998 (Singapura), dan The Information Technology Act 1999 (India),
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan draft Convention on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Susan Brenner dari University of
Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan,maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime. Cyber Crime dalam konvensi Palermo tentang kejahatan transnasional merupakan bagian dari bentuk kejahatan trans nasional. Sehingga bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia harus mematuhi konsesni ini guna menjamin hubungan yang lebih baik dengan bangsa-bangsa di dunia. kejahatan mayantara( cyber crime).
Isi Konsensi Palermo kaitannya tentang Hukum Internasional mengenai Cyber
Crime. Konvensi Palermo memutuskan kesepakatan pada pasal 1 bertujuan ;:
“Tujuan dari konvensi palermo adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisir”.
Semakin jelas pahwa konvensi ini dibuat semakin merebaknya kejahatan transnasional antara lain cyber crime yang sudah merambah ke semua dunia dan bersifat meresahkan.
Pasal 2 konvensi Palermo ayat C mengisayaratkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang serius sehingga hukuman minimal 4 tahun atau lebih” . Artinya bahwa ketentuannya pelaku kejahatan transnasional akan mendapat hukuman minimal 4 tahun penjara dalam konsensi ini.
Banyaks sekali kejahatan transnasional maka yang disebut dengan hasil kejahatan
adalah harta yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui bentuk
pelanggaran.” Jadi yang dimaksud adalah memiliki atau mengambil barang orang
lain tanpa ijin atau melalui pelanggaran hukum. Predikat palanggaran seperti dalam Pasal 2 ayat h adalah pelanggaran dari setiap hasil yang bisa menjadi subyek dari suatu pelanggaran, yang ditetapkan dalam pasal 6 konvensi ini. Dimana Pasal 6 ayat 1 berbunyi bahwa setiap negara harus mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestik, antala legislatif dan langkah-langkah sebagai mungkin perlu menetapkan sebagai pelanggaran pidana.” Artinya setiap negara harus membuat hukum yang mengatur tentang penegakan Cyber Crime sebagai bukti keseriusan untu melaksanakan kaidah
Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE. Konvensi ini digunakan untuk semakin terjaminnya keamananan Internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional dalam kerjasama internasional. Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.” Bentuk kerjasama dapat
berupa organisasi artau konsensi dan atau merespon tiap informasi secara bersama-sama.
Implementasi dari konvensi ini adalah tertuang dalam pasal 34 ayat ;
1. Setiap negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk
legislatif dan tindakan-tindakan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip dah
hukum domestik, untuk menjamin kewajiban dalam konvensi ini.
2. Pelanggaran yang sesuai dengan pasal 5.6, 8 dan 23 dalam pasal konvesi ini
harus dibentuk dalam setiap negara untuk menghadapi kriminal yang mencakup
wilayah transnaional baik pribadi maupun kelompok.
3. Setiap negara harus mengadobsi konvensi ini.
Inilah yang mendasari dibuatnya sebuah hukum yang mengatur dalam mengatasi
kejathatan transnasional dalam hal ini cyber crime.
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan dalam menangani kasus cyber crime adalah sebagai berikut:
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
D. Asas Hukum Untuk Dunia Cyber Crime
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace yaitu :
• pendekatan teknologi
• pendekatan sosial budaya-etika
• pendekatan hukum.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
• subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
• objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
• nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
• passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
• protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
• asas Universality. Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum
disebut sebagai Lex Informatica.
E. Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber
Instrumen Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern mengingat kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai subjek Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat Hukum Internasional baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-kasus Cybercrime. Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
1. bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
3. saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulkan dalam makalah ini yaitu:
1. Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan dengan menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat. Jenis-jenis kejahatanya meliputi
• kejahatan dengan motif intelektual
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
• kejahatan yang berupa pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
2. yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia adalah kerugian berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas.
3. upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime dapat dilakukan dengan cara seperti yang tertuang dalam Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.”
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan cara :
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
4. Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia karena Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
B. Saran
Masalah kejahatan cyber crime dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Olehnya itu perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani kasus cyber crime agar tidak merugikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
• www.suaramedia.com
• http://www.klikbca.com
• http:Worm-Confickerl.html
• http: lintasberita.com
• http://www.mypepito.info
• Majalah Gatra edisi Oktober 2004, Judul : Cybercrime di era digital
• website : http://www.gatra.com/2004-10-13/ date access December 2005
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (information technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “dunia maya” ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat moderen saat ini dan masa depan. Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang berhubungan dengan “cybercrime” atau kejahatan mayantara. Masalah kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa belum ada kerangka yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjerat sang pelaku di dunia cyber karena sulitnya pembuktian. Belum ada pilar hukum yang mampu menangani tindak kejahatan mayantara ini (paling tidak untuk saat ini). Terlebih sosialisasi mengenai hukum cyber dimasyarakat masih sangat minim. Bandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura atau Amerika yang telah mempunyai Undang-undang yang menetapkan ketentuan dunia cyber. Atau bahkan negara seperti India yang sudah mempunyai “polisi Cyber”. Kendati beberapa rancangan Undang-undang telah diusulkan ke DPR, namun hasil yang signifikan belum terwujud, terlebih belum tentu ada kesesuaian antara undang-undang yang akan dibuat dengan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of
Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan, maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime.
Jadi karena kejahatan dalam dunia maya(cyber crime) sangat penting sebagai kejahatan baru,maka dalam makalah kami ini akan dijelaskan beberapa hal penting terkait dengan cyber crime agar penanganannya dapat diselesaikan dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime?
2. apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia?
3. bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia?
4. mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia.
3. Untuk mengetahui bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia
4. Untuk mengetahui mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Jenis Kejahatan Cyber Crime
Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan yang dapat
dihukum berdasarkan KUHP dan undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
Kalau berdasarkan Pada Kongres PBB ke X tahun 2000, pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga
menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi
tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik.
Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas. Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi
menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis yaitu
• kejahatan dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi.
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata
dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:
a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk
pencurian waktu operasi komputer.
b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.
d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data atau output data.
f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.
Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12). Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cybercrime ini.
B. Makna dan Perkembangan Kejahatan cyber crime
Adanya penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat moderen sebagai dampak dari pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology). Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini. Semua ini dapat dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam kemajuan suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan negara yang menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”, baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum internasional maupun teknologi persenjataan militer untuk pertahanan dan keamanan negara bahkan kebutuhan intelijen. Contohnya adalah teknologi yang dimiliki Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Israel.
Supaya masalah penyalahgunaan teknologi ini tidak menjadi keresahan sosial bagi masyarakat luas, seyogianya implementasi hukum di dalam kehidupan masyarakat moderen yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang ini dan masa akan datang yang tidak mungkin untuk diberantas tuntas.
Suatu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi suatu tradisi atau budaya yang selalu mengancam dalam setiap saat kehidupan masyarakat. Di sini perlu ada semacam batasan hukum yang tegas di dalam menanggulangi dampak sosial, ekonomi dan hukum dari kemajuan teknologi moderen yang tidak begitu mudah ditangani oleh aparat penegak hukum di negara berkembang seperti halnya Indonesia yang membutuhkan perangkat hukum yang jelas dan tepat dalam mengantisipasi setiap bentuk perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Kemampuan hukum pidana menghadapi perkembangan masyarakat moderen amat dibutuhkan mengingat pendapat Herbert L. Packer “We live today in a state of hyper-consciousness about the real of fancied breakdown of social control over the most basic threats to person and proverty”. Artinya, dewasa ini kita hidup dalam suatu negara dengan kecurigaan tinggi seputar kenyataan pengendalian sosial dari khayalan melebihi ancaman paling dasar terhadap orang dan harta benda. Roberto Mangabeira Unger pernah mengemukakan, “the rule of law is intimately associated with individual freedom, even though it fails to resolve the problem of illegitimate personal dependency in social life”. Artinya, aturan hukum merupakan lembaga pokok bagi kebebasan individu meskipun ia mengalami kegagalan untuk memecahkan masalah ketergantungan pribadi yang tidak disukai dalam kehidupan sosial. Wajar hukum harus mampu mengantisipasi setiap perkembangan pesat teknologi berikut dampak buruk yang ditimbulkannya, karena amat merugikan.
Penyalahgunaan teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya hukum pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara lain. Sarana yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan mayantara ini adalah seperangkat komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan teknologi moderen ini dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau sekelompok cracker dari rumah atau tempat tertentu tanpa diketahui oleh pihak korban. Kerugian yang dialami korban dapat berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas. Kejahatan teknologi informasi ini menurut pendapat penulis dapat digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya, kejahatan yang korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari rakyat suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan kapan saja mengingat akses teknologi mayantara pada masa depan sulit untuk menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk data negara.
Kejahatan ini beraspek pada masalah hukum internasional mengingat pendapat J.G Starke, bahwa ada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan satu sama lain dan hubungan negara-negara dengan individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. Kejahatan mayantara sudah jelas akan dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat internasional. Ini cukup berarti menurut Romli Atmasasmita, karena adanya standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak.
Segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi digital untuk kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak lain. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus komputer, pornografi orang dewasa dan anak, penyebaran e-mail bermasalah hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan mayantara tersebut amat merugikan bagi kepentingan individu, kelompok masyarakat, bangsa dan negara bahkan internasional yang mendambakan selalu terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
Seperti yang dijelaskan pada Kongres PBB ke X tahun 2000, bahwa pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Dari pengertian di atas memberikan gambaran betapa pengertian dan kriminalisasi terhadap cybercrime cukup luas yang dapat menjangkau setiap perbuatan ilegal dengan menggunakan sarana sistem dan jaringan komputer yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, supaya jelas dalam kriminalisasi terhadap cybercrime harus dibedakan antara harmonisasi materi/substansi yang dinamakan dengan tindak pidana atau kejahatan mayantara dengan harmonisasi kebijakan formulasi kejahatan tersebut. Perbedaan ini penting untuk menentukan, apakah jenis kejahatan ini akan berada di dalam atau di luar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun undang-undang pidana khusus yang membutuhkan kerangka hukum baru untuk diberlakukan secara nasional. Saat ini telah ada konsep KUHP Baru yang dapat menambahkan pasal-pasal sanksi ancaman terhadap pelaku dari kejahatan mayantara dan RUU tentang Teknologi Informasi antara lain mengatur soal yurisdiksi dan kewenangan pengadilan (Bab VIII), penyidikan (Bab X) dan ketentuan pidana (Bab XI). Pemberlakuan undang-undang ini tidak hanya untuk ius constitutum sebagai hukum positif, yakni hukum yang diberlakukan saat ini akan tetapi juga ius constituendum atau hukum masa depan..
Merujuk pada sistematika Draft Convention on Cybercrime dari Dewan Eropa (Council of Europe) yaitu Draft No. 25, Desember 2000 dimana konvensi ini ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November 2001 di Budapest, Bulgaria, maka Barda Nanawi Arief memberikan kategori cybercrime sebagai delik dalam empat hal sebagai berikut. Pertama, delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer termasuk di dalamnya (a) mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal acces), (b) tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal interception), (c) tanpa hak merusak data (data interference), (d) tanpa hak mengganggu sistem (system interference), (e) menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices). Kedua, delik-delik yang berhubungan dengan komputer berupa pemalsuan dan penipuan dengan komputer (computer related offences : forgery and fraud). Ketiga, delik-delik yang bermuatan tentang pornografi anak (content-related offences, child pornography). Keempat, delik-delik yang berhubungan dengan masalah hak cipta (offences related to infringements of copyright).
Sementara Mardjono Reksodiputro dengan mengutip pendapat Eric J. Sinrod dan William P. Reilly melihat kebijakan formulasi cybercrime dapat dilakukan dalam dua pendekatan. Pertama, menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan pemakaian teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya dengan penambahan pasal tertentu dalam konsep RUU KUHP Baru. Kedua, menganggapnya sebagai kejahatan baru (new category of crime) yang amat membutuhkan suatu kerangka hukum baru (new legal framework) dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah yurisdiksi) dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Kendati ketentuan dalam KUHP belum bisa menjangkau atau memidana para pelaku kejahatan ini dengan tepat dan undang-undang teknologi informasi belum ada yang dapat mengatur masalah penyalahgunaan teknologi, akan tetapi kejahatan mayantara harus tetap menjadi prioritas utama penegak hukum kepolisian untuk menanggulanginya. Dampak buruk teknologi menjadi masalah serius bagi umat manusia pada masa depan, apabila disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk menarik keuntungan ataupun mengacaukan data penting pihak lain bahkan negara bisa menjadi korbannya.
Keadaan ini tidak dapat dihindarkan mengingat salah satu ciri dari masyarakat moderen adalah kecenderungan untuk menggunakan teknologi dalam segenap aspek kehidupannya. Perkembangan teknologi digital tidak dapat dihentikan oleh siapa pun sebagai wujud dari hasil kebudayaan. Di sini menjadi tugas dari pihak pemerintah, penegak hukum kepolisian dan warga masyarakat untuk mampu mengantisipasi setiap bentuk kemajuan teknologi digital yang pesat sehingga dampak buruk perkembangan yang merugikan dapat ditanggulangi lebih dini.
C. Upaya Penanggulangan Kejahatan cyber crime
Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Di Inggris dan Jerman membentuk suatu institusi bersama yang ditugaskan untuk dapat menanggulangi masalah Cybercrime Investigation dengan nama National Criminal Intellegence Service (NCIS) yang bermarkas di London. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan suatu proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dibentuknya National Hi-tech Crime Unit yang dilengkapi dengan anggaran khusus untuk cyber cops. Sementara itu, Amerika Serikat membentuk pula Computer Emergency Response Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg pada tahun 1990-an dan Federal Bureau Investigation (FBI) memiliki Computer Crime Squad di dalam menanggulangi kejahatan mayantara. Beberapa negara Asia lain ternyata telah maju selangkah dengan membentuk perangkat undang-undang teknologi informasi seperti The Computer Crime Act 1997 (Malaysia), The Computer Misuse Act 1998 (Singapura), dan The Information Technology Act 1999 (India),
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan draft Convention on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Susan Brenner dari University of
Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan,maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime. Cyber Crime dalam konvensi Palermo tentang kejahatan transnasional merupakan bagian dari bentuk kejahatan trans nasional. Sehingga bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia harus mematuhi konsesni ini guna menjamin hubungan yang lebih baik dengan bangsa-bangsa di dunia. kejahatan mayantara( cyber crime).
Isi Konsensi Palermo kaitannya tentang Hukum Internasional mengenai Cyber
Crime. Konvensi Palermo memutuskan kesepakatan pada pasal 1 bertujuan ;:
“Tujuan dari konvensi palermo adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisir”.
Semakin jelas pahwa konvensi ini dibuat semakin merebaknya kejahatan transnasional antara lain cyber crime yang sudah merambah ke semua dunia dan bersifat meresahkan.
Pasal 2 konvensi Palermo ayat C mengisayaratkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang serius sehingga hukuman minimal 4 tahun atau lebih” . Artinya bahwa ketentuannya pelaku kejahatan transnasional akan mendapat hukuman minimal 4 tahun penjara dalam konsensi ini.
Banyaks sekali kejahatan transnasional maka yang disebut dengan hasil kejahatan
adalah harta yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui bentuk
pelanggaran.” Jadi yang dimaksud adalah memiliki atau mengambil barang orang
lain tanpa ijin atau melalui pelanggaran hukum. Predikat palanggaran seperti dalam Pasal 2 ayat h adalah pelanggaran dari setiap hasil yang bisa menjadi subyek dari suatu pelanggaran, yang ditetapkan dalam pasal 6 konvensi ini. Dimana Pasal 6 ayat 1 berbunyi bahwa setiap negara harus mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestik, antala legislatif dan langkah-langkah sebagai mungkin perlu menetapkan sebagai pelanggaran pidana.” Artinya setiap negara harus membuat hukum yang mengatur tentang penegakan Cyber Crime sebagai bukti keseriusan untu melaksanakan kaidah
Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE. Konvensi ini digunakan untuk semakin terjaminnya keamananan Internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional dalam kerjasama internasional. Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.” Bentuk kerjasama dapat
berupa organisasi artau konsensi dan atau merespon tiap informasi secara bersama-sama.
Implementasi dari konvensi ini adalah tertuang dalam pasal 34 ayat ;
1. Setiap negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk
legislatif dan tindakan-tindakan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip dah
hukum domestik, untuk menjamin kewajiban dalam konvensi ini.
2. Pelanggaran yang sesuai dengan pasal 5.6, 8 dan 23 dalam pasal konvesi ini
harus dibentuk dalam setiap negara untuk menghadapi kriminal yang mencakup
wilayah transnaional baik pribadi maupun kelompok.
3. Setiap negara harus mengadobsi konvensi ini.
Inilah yang mendasari dibuatnya sebuah hukum yang mengatur dalam mengatasi
kejathatan transnasional dalam hal ini cyber crime.
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan dalam menangani kasus cyber crime adalah sebagai berikut:
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
D. Asas Hukum Untuk Dunia Cyber Crime
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace yaitu :
• pendekatan teknologi
• pendekatan sosial budaya-etika
• pendekatan hukum.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
• subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
• objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
• nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
• passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
• protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
• asas Universality. Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum
disebut sebagai Lex Informatica.
E. Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber
Instrumen Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern mengingat kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai subjek Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat Hukum Internasional baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-kasus Cybercrime. Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
1. bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
3. saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulkan dalam makalah ini yaitu:
1. Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan dengan menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat. Jenis-jenis kejahatanya meliputi
• kejahatan dengan motif intelektual
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
• kejahatan yang berupa pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
2. yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia adalah kerugian berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas.
3. upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime dapat dilakukan dengan cara seperti yang tertuang dalam Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.”
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan cara :
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
4. Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia karena Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
B. Saran
Masalah kejahatan cyber crime dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Olehnya itu perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani kasus cyber crime agar tidak merugikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
• www.suaramedia.com
• http://www.klikbca.com
• http:Worm-Confickerl.html
• http: lintasberita.com
• http://www.mypepito.info
• Majalah Gatra edisi Oktober 2004, Judul : Cybercrime di era digital
• website : http://www.gatra.com/2004-10-13/ date access December 2005
Langganan:
Postingan (Atom)