Asas Non-Retroaktif
Oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., Ll.M.
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.
Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.
Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.
Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.
Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.
Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.
Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).
Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka – sekalipun dengan pro dan kontra – tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan – dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.
Minggu, 18 April 2010
CYBER CRIME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (information technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “dunia maya” ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat moderen saat ini dan masa depan. Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang berhubungan dengan “cybercrime” atau kejahatan mayantara. Masalah kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa belum ada kerangka yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjerat sang pelaku di dunia cyber karena sulitnya pembuktian. Belum ada pilar hukum yang mampu menangani tindak kejahatan mayantara ini (paling tidak untuk saat ini). Terlebih sosialisasi mengenai hukum cyber dimasyarakat masih sangat minim. Bandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura atau Amerika yang telah mempunyai Undang-undang yang menetapkan ketentuan dunia cyber. Atau bahkan negara seperti India yang sudah mempunyai “polisi Cyber”. Kendati beberapa rancangan Undang-undang telah diusulkan ke DPR, namun hasil yang signifikan belum terwujud, terlebih belum tentu ada kesesuaian antara undang-undang yang akan dibuat dengan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of
Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan, maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime.
Jadi karena kejahatan dalam dunia maya(cyber crime) sangat penting sebagai kejahatan baru,maka dalam makalah kami ini akan dijelaskan beberapa hal penting terkait dengan cyber crime agar penanganannya dapat diselesaikan dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime?
2. apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia?
3. bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia?
4. mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia.
3. Untuk mengetahui bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia
4. Untuk mengetahui mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Jenis Kejahatan Cyber Crime
Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan yang dapat
dihukum berdasarkan KUHP dan undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
Kalau berdasarkan Pada Kongres PBB ke X tahun 2000, pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga
menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi
tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik.
Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas. Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi
menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis yaitu
• kejahatan dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi.
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata
dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:
a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk
pencurian waktu operasi komputer.
b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.
d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data atau output data.
f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.
Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12). Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cybercrime ini.
B. Makna dan Perkembangan Kejahatan cyber crime
Adanya penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat moderen sebagai dampak dari pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology). Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini. Semua ini dapat dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam kemajuan suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan negara yang menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”, baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum internasional maupun teknologi persenjataan militer untuk pertahanan dan keamanan negara bahkan kebutuhan intelijen. Contohnya adalah teknologi yang dimiliki Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Israel.
Supaya masalah penyalahgunaan teknologi ini tidak menjadi keresahan sosial bagi masyarakat luas, seyogianya implementasi hukum di dalam kehidupan masyarakat moderen yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang ini dan masa akan datang yang tidak mungkin untuk diberantas tuntas.
Suatu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi suatu tradisi atau budaya yang selalu mengancam dalam setiap saat kehidupan masyarakat. Di sini perlu ada semacam batasan hukum yang tegas di dalam menanggulangi dampak sosial, ekonomi dan hukum dari kemajuan teknologi moderen yang tidak begitu mudah ditangani oleh aparat penegak hukum di negara berkembang seperti halnya Indonesia yang membutuhkan perangkat hukum yang jelas dan tepat dalam mengantisipasi setiap bentuk perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Kemampuan hukum pidana menghadapi perkembangan masyarakat moderen amat dibutuhkan mengingat pendapat Herbert L. Packer “We live today in a state of hyper-consciousness about the real of fancied breakdown of social control over the most basic threats to person and proverty”. Artinya, dewasa ini kita hidup dalam suatu negara dengan kecurigaan tinggi seputar kenyataan pengendalian sosial dari khayalan melebihi ancaman paling dasar terhadap orang dan harta benda. Roberto Mangabeira Unger pernah mengemukakan, “the rule of law is intimately associated with individual freedom, even though it fails to resolve the problem of illegitimate personal dependency in social life”. Artinya, aturan hukum merupakan lembaga pokok bagi kebebasan individu meskipun ia mengalami kegagalan untuk memecahkan masalah ketergantungan pribadi yang tidak disukai dalam kehidupan sosial. Wajar hukum harus mampu mengantisipasi setiap perkembangan pesat teknologi berikut dampak buruk yang ditimbulkannya, karena amat merugikan.
Penyalahgunaan teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya hukum pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara lain. Sarana yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan mayantara ini adalah seperangkat komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan teknologi moderen ini dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau sekelompok cracker dari rumah atau tempat tertentu tanpa diketahui oleh pihak korban. Kerugian yang dialami korban dapat berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas. Kejahatan teknologi informasi ini menurut pendapat penulis dapat digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya, kejahatan yang korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari rakyat suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan kapan saja mengingat akses teknologi mayantara pada masa depan sulit untuk menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk data negara.
Kejahatan ini beraspek pada masalah hukum internasional mengingat pendapat J.G Starke, bahwa ada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan satu sama lain dan hubungan negara-negara dengan individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. Kejahatan mayantara sudah jelas akan dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat internasional. Ini cukup berarti menurut Romli Atmasasmita, karena adanya standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak.
Segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi digital untuk kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak lain. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus komputer, pornografi orang dewasa dan anak, penyebaran e-mail bermasalah hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan mayantara tersebut amat merugikan bagi kepentingan individu, kelompok masyarakat, bangsa dan negara bahkan internasional yang mendambakan selalu terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
Seperti yang dijelaskan pada Kongres PBB ke X tahun 2000, bahwa pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Dari pengertian di atas memberikan gambaran betapa pengertian dan kriminalisasi terhadap cybercrime cukup luas yang dapat menjangkau setiap perbuatan ilegal dengan menggunakan sarana sistem dan jaringan komputer yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, supaya jelas dalam kriminalisasi terhadap cybercrime harus dibedakan antara harmonisasi materi/substansi yang dinamakan dengan tindak pidana atau kejahatan mayantara dengan harmonisasi kebijakan formulasi kejahatan tersebut. Perbedaan ini penting untuk menentukan, apakah jenis kejahatan ini akan berada di dalam atau di luar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun undang-undang pidana khusus yang membutuhkan kerangka hukum baru untuk diberlakukan secara nasional. Saat ini telah ada konsep KUHP Baru yang dapat menambahkan pasal-pasal sanksi ancaman terhadap pelaku dari kejahatan mayantara dan RUU tentang Teknologi Informasi antara lain mengatur soal yurisdiksi dan kewenangan pengadilan (Bab VIII), penyidikan (Bab X) dan ketentuan pidana (Bab XI). Pemberlakuan undang-undang ini tidak hanya untuk ius constitutum sebagai hukum positif, yakni hukum yang diberlakukan saat ini akan tetapi juga ius constituendum atau hukum masa depan..
Merujuk pada sistematika Draft Convention on Cybercrime dari Dewan Eropa (Council of Europe) yaitu Draft No. 25, Desember 2000 dimana konvensi ini ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November 2001 di Budapest, Bulgaria, maka Barda Nanawi Arief memberikan kategori cybercrime sebagai delik dalam empat hal sebagai berikut. Pertama, delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer termasuk di dalamnya (a) mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal acces), (b) tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal interception), (c) tanpa hak merusak data (data interference), (d) tanpa hak mengganggu sistem (system interference), (e) menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices). Kedua, delik-delik yang berhubungan dengan komputer berupa pemalsuan dan penipuan dengan komputer (computer related offences : forgery and fraud). Ketiga, delik-delik yang bermuatan tentang pornografi anak (content-related offences, child pornography). Keempat, delik-delik yang berhubungan dengan masalah hak cipta (offences related to infringements of copyright).
Sementara Mardjono Reksodiputro dengan mengutip pendapat Eric J. Sinrod dan William P. Reilly melihat kebijakan formulasi cybercrime dapat dilakukan dalam dua pendekatan. Pertama, menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan pemakaian teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya dengan penambahan pasal tertentu dalam konsep RUU KUHP Baru. Kedua, menganggapnya sebagai kejahatan baru (new category of crime) yang amat membutuhkan suatu kerangka hukum baru (new legal framework) dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah yurisdiksi) dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Kendati ketentuan dalam KUHP belum bisa menjangkau atau memidana para pelaku kejahatan ini dengan tepat dan undang-undang teknologi informasi belum ada yang dapat mengatur masalah penyalahgunaan teknologi, akan tetapi kejahatan mayantara harus tetap menjadi prioritas utama penegak hukum kepolisian untuk menanggulanginya. Dampak buruk teknologi menjadi masalah serius bagi umat manusia pada masa depan, apabila disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk menarik keuntungan ataupun mengacaukan data penting pihak lain bahkan negara bisa menjadi korbannya.
Keadaan ini tidak dapat dihindarkan mengingat salah satu ciri dari masyarakat moderen adalah kecenderungan untuk menggunakan teknologi dalam segenap aspek kehidupannya. Perkembangan teknologi digital tidak dapat dihentikan oleh siapa pun sebagai wujud dari hasil kebudayaan. Di sini menjadi tugas dari pihak pemerintah, penegak hukum kepolisian dan warga masyarakat untuk mampu mengantisipasi setiap bentuk kemajuan teknologi digital yang pesat sehingga dampak buruk perkembangan yang merugikan dapat ditanggulangi lebih dini.
C. Upaya Penanggulangan Kejahatan cyber crime
Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Di Inggris dan Jerman membentuk suatu institusi bersama yang ditugaskan untuk dapat menanggulangi masalah Cybercrime Investigation dengan nama National Criminal Intellegence Service (NCIS) yang bermarkas di London. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan suatu proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dibentuknya National Hi-tech Crime Unit yang dilengkapi dengan anggaran khusus untuk cyber cops. Sementara itu, Amerika Serikat membentuk pula Computer Emergency Response Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg pada tahun 1990-an dan Federal Bureau Investigation (FBI) memiliki Computer Crime Squad di dalam menanggulangi kejahatan mayantara. Beberapa negara Asia lain ternyata telah maju selangkah dengan membentuk perangkat undang-undang teknologi informasi seperti The Computer Crime Act 1997 (Malaysia), The Computer Misuse Act 1998 (Singapura), dan The Information Technology Act 1999 (India),
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan draft Convention on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Susan Brenner dari University of
Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan,maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime. Cyber Crime dalam konvensi Palermo tentang kejahatan transnasional merupakan bagian dari bentuk kejahatan trans nasional. Sehingga bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia harus mematuhi konsesni ini guna menjamin hubungan yang lebih baik dengan bangsa-bangsa di dunia. kejahatan mayantara( cyber crime).
Isi Konsensi Palermo kaitannya tentang Hukum Internasional mengenai Cyber
Crime. Konvensi Palermo memutuskan kesepakatan pada pasal 1 bertujuan ;:
“Tujuan dari konvensi palermo adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisir”.
Semakin jelas pahwa konvensi ini dibuat semakin merebaknya kejahatan transnasional antara lain cyber crime yang sudah merambah ke semua dunia dan bersifat meresahkan.
Pasal 2 konvensi Palermo ayat C mengisayaratkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang serius sehingga hukuman minimal 4 tahun atau lebih” . Artinya bahwa ketentuannya pelaku kejahatan transnasional akan mendapat hukuman minimal 4 tahun penjara dalam konsensi ini.
Banyaks sekali kejahatan transnasional maka yang disebut dengan hasil kejahatan
adalah harta yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui bentuk
pelanggaran.” Jadi yang dimaksud adalah memiliki atau mengambil barang orang
lain tanpa ijin atau melalui pelanggaran hukum. Predikat palanggaran seperti dalam Pasal 2 ayat h adalah pelanggaran dari setiap hasil yang bisa menjadi subyek dari suatu pelanggaran, yang ditetapkan dalam pasal 6 konvensi ini. Dimana Pasal 6 ayat 1 berbunyi bahwa setiap negara harus mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestik, antala legislatif dan langkah-langkah sebagai mungkin perlu menetapkan sebagai pelanggaran pidana.” Artinya setiap negara harus membuat hukum yang mengatur tentang penegakan Cyber Crime sebagai bukti keseriusan untu melaksanakan kaidah
Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE. Konvensi ini digunakan untuk semakin terjaminnya keamananan Internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional dalam kerjasama internasional. Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.” Bentuk kerjasama dapat
berupa organisasi artau konsensi dan atau merespon tiap informasi secara bersama-sama.
Implementasi dari konvensi ini adalah tertuang dalam pasal 34 ayat ;
1. Setiap negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk
legislatif dan tindakan-tindakan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip dah
hukum domestik, untuk menjamin kewajiban dalam konvensi ini.
2. Pelanggaran yang sesuai dengan pasal 5.6, 8 dan 23 dalam pasal konvesi ini
harus dibentuk dalam setiap negara untuk menghadapi kriminal yang mencakup
wilayah transnaional baik pribadi maupun kelompok.
3. Setiap negara harus mengadobsi konvensi ini.
Inilah yang mendasari dibuatnya sebuah hukum yang mengatur dalam mengatasi
kejathatan transnasional dalam hal ini cyber crime.
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan dalam menangani kasus cyber crime adalah sebagai berikut:
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
D. Asas Hukum Untuk Dunia Cyber Crime
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace yaitu :
• pendekatan teknologi
• pendekatan sosial budaya-etika
• pendekatan hukum.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
• subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
• objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
• nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
• passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
• protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
• asas Universality. Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum
disebut sebagai Lex Informatica.
E. Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber
Instrumen Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern mengingat kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai subjek Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat Hukum Internasional baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-kasus Cybercrime. Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
1. bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
3. saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulkan dalam makalah ini yaitu:
1. Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan dengan menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat. Jenis-jenis kejahatanya meliputi
• kejahatan dengan motif intelektual
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
• kejahatan yang berupa pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
2. yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia adalah kerugian berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas.
3. upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime dapat dilakukan dengan cara seperti yang tertuang dalam Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.”
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan cara :
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
4. Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia karena Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
B. Saran
Masalah kejahatan cyber crime dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Olehnya itu perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani kasus cyber crime agar tidak merugikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
• www.suaramedia.com
• http://www.klikbca.com
• http:Worm-Confickerl.html
• http: lintasberita.com
• http://www.mypepito.info
• Majalah Gatra edisi Oktober 2004, Judul : Cybercrime di era digital
• website : http://www.gatra.com/2004-10-13/ date access December 2005
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (information technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “dunia maya” ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat moderen saat ini dan masa depan. Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang berhubungan dengan “cybercrime” atau kejahatan mayantara. Masalah kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa belum ada kerangka yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjerat sang pelaku di dunia cyber karena sulitnya pembuktian. Belum ada pilar hukum yang mampu menangani tindak kejahatan mayantara ini (paling tidak untuk saat ini). Terlebih sosialisasi mengenai hukum cyber dimasyarakat masih sangat minim. Bandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura atau Amerika yang telah mempunyai Undang-undang yang menetapkan ketentuan dunia cyber. Atau bahkan negara seperti India yang sudah mempunyai “polisi Cyber”. Kendati beberapa rancangan Undang-undang telah diusulkan ke DPR, namun hasil yang signifikan belum terwujud, terlebih belum tentu ada kesesuaian antara undang-undang yang akan dibuat dengan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of
Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan, maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime.
Jadi karena kejahatan dalam dunia maya(cyber crime) sangat penting sebagai kejahatan baru,maka dalam makalah kami ini akan dijelaskan beberapa hal penting terkait dengan cyber crime agar penanganannya dapat diselesaikan dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime?
2. apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia?
3. bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia?
4. mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cyber crime dan jenis kejahatan apa saja yang tergolong dalam cyber crime.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia.
3. Untuk mengetahui bagaiamana upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime agar tidak merugikan masyarakat dunia
4. Untuk mengetahui mengapa Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Jenis Kejahatan Cyber Crime
Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan yang dapat
dihukum berdasarkan KUHP dan undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
Kalau berdasarkan Pada Kongres PBB ke X tahun 2000, pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga
menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi
tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik.
Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas. Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi
menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis yaitu
• kejahatan dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi.
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata
dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:
a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk
pencurian waktu operasi komputer.
b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.
d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data atau output data.
f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.
Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12). Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cybercrime ini.
B. Makna dan Perkembangan Kejahatan cyber crime
Adanya penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat moderen sebagai dampak dari pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology). Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini. Semua ini dapat dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam kemajuan suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan negara yang menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”, baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum internasional maupun teknologi persenjataan militer untuk pertahanan dan keamanan negara bahkan kebutuhan intelijen. Contohnya adalah teknologi yang dimiliki Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Israel.
Supaya masalah penyalahgunaan teknologi ini tidak menjadi keresahan sosial bagi masyarakat luas, seyogianya implementasi hukum di dalam kehidupan masyarakat moderen yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang ini dan masa akan datang yang tidak mungkin untuk diberantas tuntas.
Suatu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi suatu tradisi atau budaya yang selalu mengancam dalam setiap saat kehidupan masyarakat. Di sini perlu ada semacam batasan hukum yang tegas di dalam menanggulangi dampak sosial, ekonomi dan hukum dari kemajuan teknologi moderen yang tidak begitu mudah ditangani oleh aparat penegak hukum di negara berkembang seperti halnya Indonesia yang membutuhkan perangkat hukum yang jelas dan tepat dalam mengantisipasi setiap bentuk perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Kemampuan hukum pidana menghadapi perkembangan masyarakat moderen amat dibutuhkan mengingat pendapat Herbert L. Packer “We live today in a state of hyper-consciousness about the real of fancied breakdown of social control over the most basic threats to person and proverty”. Artinya, dewasa ini kita hidup dalam suatu negara dengan kecurigaan tinggi seputar kenyataan pengendalian sosial dari khayalan melebihi ancaman paling dasar terhadap orang dan harta benda. Roberto Mangabeira Unger pernah mengemukakan, “the rule of law is intimately associated with individual freedom, even though it fails to resolve the problem of illegitimate personal dependency in social life”. Artinya, aturan hukum merupakan lembaga pokok bagi kebebasan individu meskipun ia mengalami kegagalan untuk memecahkan masalah ketergantungan pribadi yang tidak disukai dalam kehidupan sosial. Wajar hukum harus mampu mengantisipasi setiap perkembangan pesat teknologi berikut dampak buruk yang ditimbulkannya, karena amat merugikan.
Penyalahgunaan teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya hukum pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara lain. Sarana yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan mayantara ini adalah seperangkat komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan teknologi moderen ini dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau sekelompok cracker dari rumah atau tempat tertentu tanpa diketahui oleh pihak korban. Kerugian yang dialami korban dapat berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas. Kejahatan teknologi informasi ini menurut pendapat penulis dapat digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya, kejahatan yang korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari rakyat suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan kapan saja mengingat akses teknologi mayantara pada masa depan sulit untuk menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk data negara.
Kejahatan ini beraspek pada masalah hukum internasional mengingat pendapat J.G Starke, bahwa ada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan satu sama lain dan hubungan negara-negara dengan individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. Kejahatan mayantara sudah jelas akan dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat internasional. Ini cukup berarti menurut Romli Atmasasmita, karena adanya standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak.
Segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi digital untuk kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak lain. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus komputer, pornografi orang dewasa dan anak, penyebaran e-mail bermasalah hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan mayantara tersebut amat merugikan bagi kepentingan individu, kelompok masyarakat, bangsa dan negara bahkan internasional yang mendambakan selalu terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
Seperti yang dijelaskan pada Kongres PBB ke X tahun 2000, bahwa pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Dari pengertian di atas memberikan gambaran betapa pengertian dan kriminalisasi terhadap cybercrime cukup luas yang dapat menjangkau setiap perbuatan ilegal dengan menggunakan sarana sistem dan jaringan komputer yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, supaya jelas dalam kriminalisasi terhadap cybercrime harus dibedakan antara harmonisasi materi/substansi yang dinamakan dengan tindak pidana atau kejahatan mayantara dengan harmonisasi kebijakan formulasi kejahatan tersebut. Perbedaan ini penting untuk menentukan, apakah jenis kejahatan ini akan berada di dalam atau di luar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun undang-undang pidana khusus yang membutuhkan kerangka hukum baru untuk diberlakukan secara nasional. Saat ini telah ada konsep KUHP Baru yang dapat menambahkan pasal-pasal sanksi ancaman terhadap pelaku dari kejahatan mayantara dan RUU tentang Teknologi Informasi antara lain mengatur soal yurisdiksi dan kewenangan pengadilan (Bab VIII), penyidikan (Bab X) dan ketentuan pidana (Bab XI). Pemberlakuan undang-undang ini tidak hanya untuk ius constitutum sebagai hukum positif, yakni hukum yang diberlakukan saat ini akan tetapi juga ius constituendum atau hukum masa depan..
Merujuk pada sistematika Draft Convention on Cybercrime dari Dewan Eropa (Council of Europe) yaitu Draft No. 25, Desember 2000 dimana konvensi ini ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November 2001 di Budapest, Bulgaria, maka Barda Nanawi Arief memberikan kategori cybercrime sebagai delik dalam empat hal sebagai berikut. Pertama, delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer termasuk di dalamnya (a) mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal acces), (b) tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal interception), (c) tanpa hak merusak data (data interference), (d) tanpa hak mengganggu sistem (system interference), (e) menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices). Kedua, delik-delik yang berhubungan dengan komputer berupa pemalsuan dan penipuan dengan komputer (computer related offences : forgery and fraud). Ketiga, delik-delik yang bermuatan tentang pornografi anak (content-related offences, child pornography). Keempat, delik-delik yang berhubungan dengan masalah hak cipta (offences related to infringements of copyright).
Sementara Mardjono Reksodiputro dengan mengutip pendapat Eric J. Sinrod dan William P. Reilly melihat kebijakan formulasi cybercrime dapat dilakukan dalam dua pendekatan. Pertama, menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan pemakaian teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya dengan penambahan pasal tertentu dalam konsep RUU KUHP Baru. Kedua, menganggapnya sebagai kejahatan baru (new category of crime) yang amat membutuhkan suatu kerangka hukum baru (new legal framework) dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah yurisdiksi) dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Kendati ketentuan dalam KUHP belum bisa menjangkau atau memidana para pelaku kejahatan ini dengan tepat dan undang-undang teknologi informasi belum ada yang dapat mengatur masalah penyalahgunaan teknologi, akan tetapi kejahatan mayantara harus tetap menjadi prioritas utama penegak hukum kepolisian untuk menanggulanginya. Dampak buruk teknologi menjadi masalah serius bagi umat manusia pada masa depan, apabila disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk menarik keuntungan ataupun mengacaukan data penting pihak lain bahkan negara bisa menjadi korbannya.
Keadaan ini tidak dapat dihindarkan mengingat salah satu ciri dari masyarakat moderen adalah kecenderungan untuk menggunakan teknologi dalam segenap aspek kehidupannya. Perkembangan teknologi digital tidak dapat dihentikan oleh siapa pun sebagai wujud dari hasil kebudayaan. Di sini menjadi tugas dari pihak pemerintah, penegak hukum kepolisian dan warga masyarakat untuk mampu mengantisipasi setiap bentuk kemajuan teknologi digital yang pesat sehingga dampak buruk perkembangan yang merugikan dapat ditanggulangi lebih dini.
C. Upaya Penanggulangan Kejahatan cyber crime
Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Di Inggris dan Jerman membentuk suatu institusi bersama yang ditugaskan untuk dapat menanggulangi masalah Cybercrime Investigation dengan nama National Criminal Intellegence Service (NCIS) yang bermarkas di London. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan suatu proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dibentuknya National Hi-tech Crime Unit yang dilengkapi dengan anggaran khusus untuk cyber cops. Sementara itu, Amerika Serikat membentuk pula Computer Emergency Response Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg pada tahun 1990-an dan Federal Bureau Investigation (FBI) memiliki Computer Crime Squad di dalam menanggulangi kejahatan mayantara. Beberapa negara Asia lain ternyata telah maju selangkah dengan membentuk perangkat undang-undang teknologi informasi seperti The Computer Crime Act 1997 (Malaysia), The Computer Misuse Act 1998 (Singapura), dan The Information Technology Act 1999 (India),
Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporan yang berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negaranegara anggota, beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime, yang diakui bahwa sistem telekomunikasi memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan draft Convention on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Susan Brenner dari University of
Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada saat ini bisa digunakan,maka pelaksanaannya akan berbeda dengan dengan penegakan di dunia hukum biasa, Khususnya mengenai apa yang harus dilakukan aparat kepolisian. Maka perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani cyber crime. Cyber Crime dalam konvensi Palermo tentang kejahatan transnasional merupakan bagian dari bentuk kejahatan trans nasional. Sehingga bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia harus mematuhi konsesni ini guna menjamin hubungan yang lebih baik dengan bangsa-bangsa di dunia. kejahatan mayantara( cyber crime).
Isi Konsensi Palermo kaitannya tentang Hukum Internasional mengenai Cyber
Crime. Konvensi Palermo memutuskan kesepakatan pada pasal 1 bertujuan ;:
“Tujuan dari konvensi palermo adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisir”.
Semakin jelas pahwa konvensi ini dibuat semakin merebaknya kejahatan transnasional antara lain cyber crime yang sudah merambah ke semua dunia dan bersifat meresahkan.
Pasal 2 konvensi Palermo ayat C mengisayaratkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang serius sehingga hukuman minimal 4 tahun atau lebih” . Artinya bahwa ketentuannya pelaku kejahatan transnasional akan mendapat hukuman minimal 4 tahun penjara dalam konsensi ini.
Banyaks sekali kejahatan transnasional maka yang disebut dengan hasil kejahatan
adalah harta yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui bentuk
pelanggaran.” Jadi yang dimaksud adalah memiliki atau mengambil barang orang
lain tanpa ijin atau melalui pelanggaran hukum. Predikat palanggaran seperti dalam Pasal 2 ayat h adalah pelanggaran dari setiap hasil yang bisa menjadi subyek dari suatu pelanggaran, yang ditetapkan dalam pasal 6 konvensi ini. Dimana Pasal 6 ayat 1 berbunyi bahwa setiap negara harus mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestik, antala legislatif dan langkah-langkah sebagai mungkin perlu menetapkan sebagai pelanggaran pidana.” Artinya setiap negara harus membuat hukum yang mengatur tentang penegakan Cyber Crime sebagai bukti keseriusan untu melaksanakan kaidah
Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE. Konvensi ini digunakan untuk semakin terjaminnya keamananan Internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional dalam kerjasama internasional. Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.” Bentuk kerjasama dapat
berupa organisasi artau konsensi dan atau merespon tiap informasi secara bersama-sama.
Implementasi dari konvensi ini adalah tertuang dalam pasal 34 ayat ;
1. Setiap negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk
legislatif dan tindakan-tindakan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip dah
hukum domestik, untuk menjamin kewajiban dalam konvensi ini.
2. Pelanggaran yang sesuai dengan pasal 5.6, 8 dan 23 dalam pasal konvesi ini
harus dibentuk dalam setiap negara untuk menghadapi kriminal yang mencakup
wilayah transnaional baik pribadi maupun kelompok.
3. Setiap negara harus mengadobsi konvensi ini.
Inilah yang mendasari dibuatnya sebuah hukum yang mengatur dalam mengatasi
kejathatan transnasional dalam hal ini cyber crime.
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan dalam menangani kasus cyber crime adalah sebagai berikut:
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
D. Asas Hukum Untuk Dunia Cyber Crime
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace yaitu :
• pendekatan teknologi
• pendekatan sosial budaya-etika
• pendekatan hukum.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
• subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
• objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
• nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
• passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
• protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
• asas Universality. Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum
disebut sebagai Lex Informatica.
E. Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber
Instrumen Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern mengingat kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai subjek Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat Hukum Internasional baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-kasus Cybercrime. Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
1. bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
3. saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulkan dalam makalah ini yaitu:
1. Cybercrime adalah istilah umum (general term), meliputi kegiatan dengan menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat. Jenis-jenis kejahatanya meliputi
• kejahatan dengan motif intelektual
• kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi.
• kejahatan yang berupa pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
2. yang menjadi dampak dari cyber crime khususnya bagi masyarakat dunia adalah kerugian berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas.
3. upaya penanggulangan terhadap kejahatan cyber crime dapat dilakukan dengan cara seperti yang tertuang dalam Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.”
Selain itu, berdasarkan pendapat yang dijelaskan oleh Kapolri Indonesia yang dilakukan cara :
• Poin A, yaitu berupa penguatan penegakan hukum dengan penyelidikan maupun penyidikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelidikan melalui internet portal, dan menindaklanjuti informasi atau laporan dari masyarakat. Selain itu juga termasuk penanganan secara tuntas dan pengembangan dari kasus yang ada.
• Poin B, yaitu Capacity Building dengan peningkatan kemampuan SDM dalam penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime, baik melalui pendidikan, pelatihan, coaching clinic, seminar maupun focus group discussion. Selain itu, kepolisian juga akan melengkapi sarana dan prasarana, serta menyediakan anggaran yang memadai.
• Poin C, adalah membangun kerja sama sinergi dengan pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, provider, pengusaha warnet dan akademisi.
• Poin D, berupa kerjasama internasional dalam pendidikan pelatihan, bantuan peralatan atau ahli dan operasi bersama yang bersifat antarnegara dan antarinstitusi kepolisian serta memanfaatkan ekstradisi dan mutual legal assistance terkait dengan pelaku dan asetnya di luar negeri.
• Selanjutnya, poin E yaitu kerja sama dengan perushaaan IT seperti Microsoft, Google, Facebook, Yahoo dan sebagainya
4. Indonesia belum bisa mengatasi kejahatan cyber crime seperti halnya yang dilakukan oleh nagara-negar lain di dunia karena Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
B. Saran
Masalah kejahatan cyber crime dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Olehnya itu perlu dibentuk polisi cyber, hakim cyber, dan jaksa cyber yang keahliannya menangani kasus cyber crime agar tidak merugikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
• www.suaramedia.com
• http://www.klikbca.com
• http:Worm-Confickerl.html
• http: lintasberita.com
• http://www.mypepito.info
• Majalah Gatra edisi Oktober 2004, Judul : Cybercrime di era digital
• website : http://www.gatra.com/2004-10-13/ date access December 2005
PELANGGARAN HAM BERAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila kita berbicara tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM, maka akan selalu terjadi banyak perdebatan. Masih dalam konteks ini, HAM perlu dipahami sebagai suatu hal yang terus berkembang seiring dengan jaman. Sejak dideklarasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1945 hingga saat ini, pemahaman tentang HAM terus berkembang seiring dengan terjadinya berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia. Artinya pemaknaan pelanggaran HAM juga terus berkembang dan terus diperbaharaui Sebelum melangkah pada pemahaman tentang pelanggaran HAM, ada baiknya kita memahami basis dasarnya yaitu Hak Asasi Manusia. Selama ini, banyak pihak yang memahami pelanggaran HAM dengan salah kaprah.
Dalam kondisi terjadi pelanggaran hak sesesorang yang dilakukan oleh orang lainnya, maka Negara (yang diwakili oleh pemerintah) sebagai pemegang mandat untuk melakukan tindakan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Undang-undang tersebut adalah mekanisme dan prosedur yang bertujuan melindungi setiap warga negaranya. Istilah sederhananya adalah penegakan hukum. Negara wajib mengambil tindakan kepada orang yang melakukan pelanggaran sesuai dengan hukum yang berlaku. Artinya, tindakan pelanggaran tersebut masuk dalam kategori tindakan kriminal. Seseorang melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain.
Nah, lalu bagaimana jika Negara yang melakukan pelanggaran terhadap warganya? Tentu saja, logika yang digunakan adalah pelanggaran tersebut dilakukan oleh pelaksana mandat Negara yaitu aparat negara. Sulit bukan? Mereka sebagai pelaksana mandat negara justru sangat mungkin melakukan pelanggaran terhadap hak-hak warga negaranya karena memiliki kemampuan atau kekuasaan yang justru diberikan (baca mandat) oleh warga negaranya. Nah, inilah yang terjadi pada kasus 2. Polisi sebagai bagian dari aparat negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada warga negara tapi justru melakukan pelanggaran.
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM.
Oleh karena itu, penulis mencoba menyusun makalah ini dengan mengangkat judul “Pelanggaran HAM Berat (Genosida Armenia)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan HAM?
2. Apakah yang dimaksud dengan pelanggaran HAM?
3. Apakah yang dimaksud dengan Genosida?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HAM.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Genosida.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan kita peoleh dari makalah ini adalah:
1. Kita dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan HAM.
2. Kita dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM.
3. Kita dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan Genosida.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Perkembangan HAM
1. Pengertian HAM
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Secara umum kita dapat menyimpulkan bahwa HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
2. Perkembangan HAM
Perkembangan HAM Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
o Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
o Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
o Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
o Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1. Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum(Mansyur Effendi,1994).
2. The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
3. The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
4. The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).
Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia:
o Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
o Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
2. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
3. Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
4. Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD Negara RI Tahun 1945
B. Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).
Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum.
C. Genosida
Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan').
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.
D. Genosida Armenia
Genosida Armenia (bahasa Armenia Հայոց Ցեղասպանութիւն Hayoc’ c’ejaspanut’iwn; bahasa Turki Ermeni Soykırımı) merujuk kepada sebuah peristiwa sekitar Perang Dunia I (dari tahun 1915 – 1917) ketika menurut laporan beberapa pihak banyak orang Armenia dibantai oleh tentara Kerajaan Ottoman Turki.
Turki sampai sekarang masih menyangkal adanya pembantaian atau genosida. Namun mereka mengakui bahwa memang terjadi kematian secara besar-besaran yang terjadi karena peperangan dan hal-hal yang bersangkutan seperti wabah penyakit dan kelaparan. Namun hal ini tidak terjadi secara sistematis.
Namun sebagian besar ilmuwan dari negara Barat dan Rusia menyatakan bahwa sebuah genosida pernah terjadi dan hal ini dilaksanakan secara sistematis oleh kaum Turki Muda. Sampai saat ini ada 22 negara yang mengakui adanya genosida ini.
Selama berabad-abad, Armenia ditaklukkan oleh orang Yunani, Romawi, Persia, Bizantium, Mongol, Arab, Turki Ottoman, dan Rusia. Sejak abad ke-17 hingga masa Perang Dunia I, sebagian besar tanah orang Armenia dikuasai oleh orang Turki Ottoman, yang mengakibatkan orang Armenia menderita akibat diskriminasi, penganiayaan agama, pajak yang berat dan tindakan kekerasan, meski mereka merupakan salah satu suku bangsa minoritas terbesar di kerajaan Ottoman.
Akibat munculnya nasionalisme Armenia, orang Turki membantai beribu-ribu orang Armenia antara tahun 1894 hingga 1896. Akan tetapi pembantaian yang paling mengerikan terjadi pada bulan April 1915, saat berlangsungnya Perang Dunia I. Ketika itu orang Turki melakukan pembersihan etnis dengan menggiring orang-orang Armenia ke gurun pasir Suriah dan Mesopotamia. Menurut perkiraan para sejarawan, antara 600.000 hingga 1,5 juta orang Armenia dibunuh atau mati kelaparan dalam peristiwa ini. Pembantaian terhadap orang Armenia konon merupakan genosida pertama pada abad ke-20.
Hingga sekarang pemerintahan Turki tidak mau mengakui kejahatan tersebut dengan menyatakan bahwa jumlah korban yang jatuh lebih kecil dan mereka mati karena perang saudara bukan karena pembersihan etnis. (Selama bertahun-tahun, kebanyakan negara Barat sendiri menghindari isu ini demi menghormati Turki yang menjadi sekuler setelah pemerintahan Kemal Ataturk). Pada kenyataannya, ditutup-tutupinya pembantaian ini sendiri — baik oleh orang Turki maupun pemerintahan Barat — konon memberikan inspirasi kepada Hitler untuk membantai orang Yahudi, meskipun hal ini masih menjadi kontroversi.
Sementara itu Uni Eropa menyatakan bahwa salah satu persyaratan bagi Turki untuk masuk ke Uni Eropa ialah dengan mengakuinya genosida ini. Di sisi lain ada semakin banyak pakar dan ilmuwan Turki yang mengakui pernah adanya genosida ini. Mereka antara lain adalah Taner Akçam, Fatma Muge Gocek, dan Halil Berktay.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Yang dimaksud dengan HAM adalah Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
3. Yang dimaksud dengan Genosida adalah Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
B. Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain.
.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Arinanto, Satya. 2003. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia; Jakarta.
Bahar, Saafroedin. 1996. Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas Ham Dan Jajaran Hankam/ABRI. Pustaka Sinar Harapan; Jakarta.
Sujatmoko, Andrey.2005. Tanggung Awab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste. Grasindo; Jakarta
B. UNDANG-UNDANG
1. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
C. SUMBER LAIN
www.syaldi.web.id
http://sekitarkita.com/2009/05/memahami-pelanggaran-hak-asasi-manusia ham/comment-page-1/
http://elsam.minihub.org/kkr/Trisakti.html
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/02/02/121019/126/101/Kasus-Pelanggaran-HAM-di-Sumut-Dominasi-Polisi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila kita berbicara tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM, maka akan selalu terjadi banyak perdebatan. Masih dalam konteks ini, HAM perlu dipahami sebagai suatu hal yang terus berkembang seiring dengan jaman. Sejak dideklarasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1945 hingga saat ini, pemahaman tentang HAM terus berkembang seiring dengan terjadinya berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia. Artinya pemaknaan pelanggaran HAM juga terus berkembang dan terus diperbaharaui Sebelum melangkah pada pemahaman tentang pelanggaran HAM, ada baiknya kita memahami basis dasarnya yaitu Hak Asasi Manusia. Selama ini, banyak pihak yang memahami pelanggaran HAM dengan salah kaprah.
Dalam kondisi terjadi pelanggaran hak sesesorang yang dilakukan oleh orang lainnya, maka Negara (yang diwakili oleh pemerintah) sebagai pemegang mandat untuk melakukan tindakan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Undang-undang tersebut adalah mekanisme dan prosedur yang bertujuan melindungi setiap warga negaranya. Istilah sederhananya adalah penegakan hukum. Negara wajib mengambil tindakan kepada orang yang melakukan pelanggaran sesuai dengan hukum yang berlaku. Artinya, tindakan pelanggaran tersebut masuk dalam kategori tindakan kriminal. Seseorang melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain.
Nah, lalu bagaimana jika Negara yang melakukan pelanggaran terhadap warganya? Tentu saja, logika yang digunakan adalah pelanggaran tersebut dilakukan oleh pelaksana mandat Negara yaitu aparat negara. Sulit bukan? Mereka sebagai pelaksana mandat negara justru sangat mungkin melakukan pelanggaran terhadap hak-hak warga negaranya karena memiliki kemampuan atau kekuasaan yang justru diberikan (baca mandat) oleh warga negaranya. Nah, inilah yang terjadi pada kasus 2. Polisi sebagai bagian dari aparat negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada warga negara tapi justru melakukan pelanggaran.
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM.
Oleh karena itu, penulis mencoba menyusun makalah ini dengan mengangkat judul “Pelanggaran HAM Berat (Genosida Armenia)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan HAM?
2. Apakah yang dimaksud dengan pelanggaran HAM?
3. Apakah yang dimaksud dengan Genosida?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HAM.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Genosida.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan kita peoleh dari makalah ini adalah:
1. Kita dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan HAM.
2. Kita dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM.
3. Kita dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan Genosida.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Perkembangan HAM
1. Pengertian HAM
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Secara umum kita dapat menyimpulkan bahwa HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
2. Perkembangan HAM
Perkembangan HAM Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
o Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
o Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
o Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
o Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1. Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum(Mansyur Effendi,1994).
2. The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
3. The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
4. The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).
Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia:
o Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
o Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
2. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
3. Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
4. Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD Negara RI Tahun 1945
B. Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).
Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum.
C. Genosida
Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan').
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.
D. Genosida Armenia
Genosida Armenia (bahasa Armenia Հայոց Ցեղասպանութիւն Hayoc’ c’ejaspanut’iwn; bahasa Turki Ermeni Soykırımı) merujuk kepada sebuah peristiwa sekitar Perang Dunia I (dari tahun 1915 – 1917) ketika menurut laporan beberapa pihak banyak orang Armenia dibantai oleh tentara Kerajaan Ottoman Turki.
Turki sampai sekarang masih menyangkal adanya pembantaian atau genosida. Namun mereka mengakui bahwa memang terjadi kematian secara besar-besaran yang terjadi karena peperangan dan hal-hal yang bersangkutan seperti wabah penyakit dan kelaparan. Namun hal ini tidak terjadi secara sistematis.
Namun sebagian besar ilmuwan dari negara Barat dan Rusia menyatakan bahwa sebuah genosida pernah terjadi dan hal ini dilaksanakan secara sistematis oleh kaum Turki Muda. Sampai saat ini ada 22 negara yang mengakui adanya genosida ini.
Selama berabad-abad, Armenia ditaklukkan oleh orang Yunani, Romawi, Persia, Bizantium, Mongol, Arab, Turki Ottoman, dan Rusia. Sejak abad ke-17 hingga masa Perang Dunia I, sebagian besar tanah orang Armenia dikuasai oleh orang Turki Ottoman, yang mengakibatkan orang Armenia menderita akibat diskriminasi, penganiayaan agama, pajak yang berat dan tindakan kekerasan, meski mereka merupakan salah satu suku bangsa minoritas terbesar di kerajaan Ottoman.
Akibat munculnya nasionalisme Armenia, orang Turki membantai beribu-ribu orang Armenia antara tahun 1894 hingga 1896. Akan tetapi pembantaian yang paling mengerikan terjadi pada bulan April 1915, saat berlangsungnya Perang Dunia I. Ketika itu orang Turki melakukan pembersihan etnis dengan menggiring orang-orang Armenia ke gurun pasir Suriah dan Mesopotamia. Menurut perkiraan para sejarawan, antara 600.000 hingga 1,5 juta orang Armenia dibunuh atau mati kelaparan dalam peristiwa ini. Pembantaian terhadap orang Armenia konon merupakan genosida pertama pada abad ke-20.
Hingga sekarang pemerintahan Turki tidak mau mengakui kejahatan tersebut dengan menyatakan bahwa jumlah korban yang jatuh lebih kecil dan mereka mati karena perang saudara bukan karena pembersihan etnis. (Selama bertahun-tahun, kebanyakan negara Barat sendiri menghindari isu ini demi menghormati Turki yang menjadi sekuler setelah pemerintahan Kemal Ataturk). Pada kenyataannya, ditutup-tutupinya pembantaian ini sendiri — baik oleh orang Turki maupun pemerintahan Barat — konon memberikan inspirasi kepada Hitler untuk membantai orang Yahudi, meskipun hal ini masih menjadi kontroversi.
Sementara itu Uni Eropa menyatakan bahwa salah satu persyaratan bagi Turki untuk masuk ke Uni Eropa ialah dengan mengakuinya genosida ini. Di sisi lain ada semakin banyak pakar dan ilmuwan Turki yang mengakui pernah adanya genosida ini. Mereka antara lain adalah Taner Akçam, Fatma Muge Gocek, dan Halil Berktay.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Yang dimaksud dengan HAM adalah Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
3. Yang dimaksud dengan Genosida adalah Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
B. Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain.
.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Arinanto, Satya. 2003. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia; Jakarta.
Bahar, Saafroedin. 1996. Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas Ham Dan Jajaran Hankam/ABRI. Pustaka Sinar Harapan; Jakarta.
Sujatmoko, Andrey.2005. Tanggung Awab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste. Grasindo; Jakarta
B. UNDANG-UNDANG
1. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
C. SUMBER LAIN
www.syaldi.web.id
http://sekitarkita.com/2009/05/memahami-pelanggaran-hak-asasi-manusia ham/comment-page-1/
http://elsam.minihub.org/kkr/Trisakti.html
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/02/02/121019/126/101/Kasus-Pelanggaran-HAM-di-Sumut-Dominasi-Polisi
Jumat, 16 April 2010
ASAS RETROAKTIF
Dalam sejarah dan praktek perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum – khususnya hukum pidana – semakin diperluas. Selain itu pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.
Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada,[20] padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari kovensi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah asas legalitas materiil sama dengan asas retroaktif. Asas legalitas materiil dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951[21] dan kemudian direspon dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2004 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat.[22] Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.
Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUHP). Kemudian larangan itu muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas non retroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Secara historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan mengeluarkan Brisbane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu Jepang. Kuatnya keinginan menerapkan asas retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan[23] serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Talionis (pembalasan).[24]
Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam Penjelasan Pasal 4,[25] Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu:
1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam Penjelasan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut.[26] Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”.[27]
Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi hak relatif. Kemudian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu.
2. Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC.[28] Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri.
3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa
“Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri”.
Ketentuan ini merupakan dasar dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini, …” mengandung indikasi bahwa selain Perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. Akankah demikian, tentunya kita lihat perkembangan dari kedua perpu tersebut.
Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku peledakan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Imron dan Imam Samudera. Dalam perkembangannya, eksistensi Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiil oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiil hanya Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.
Salah satu dasar hukum dan yang paling relevan dengan persoalan yang dibicarakan di sini adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua) UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembatasan dari Pasal 28 J ini memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime,[29] sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana.
Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengesampingkan asas non retroaktif, argumen hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya. Di samping itu, dikemukakan pula bahaya dari penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas non-retroaktif akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik (revenge) dan sebagainya.[30]
Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 berpendapat bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut:[31]
1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat;
2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Ad hoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal;
3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun 2003 atas peristiwa bom Bali dan mengabaikan sama sekali teori sebab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum;
4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali;
5. Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukkan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut tersebut terlalu dini dan ceroboh.
Terhadap kritikan pemerintah yang terakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) atau luar biasa (extra ordinary crime). Apa yang menjadi dasar penentuan itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran. Pertama, jumlah korban yang besar atau relatif besar, kedua, cara melakukan kejahatan yang sangat kejam, ketiga, dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas dan keempat, penetapan oleh lembaga internasional (PBB atau lainnya) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penafsiran mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbeda satu dengan yang lain.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003. Meski yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini membawa dampak kepada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali.
Adalah menarik untuk mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggi di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 diuji materiilkan terhadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan ketentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara.[32] Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan.[33]
Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada,[20] padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari kovensi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah asas legalitas materiil sama dengan asas retroaktif. Asas legalitas materiil dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951[21] dan kemudian direspon dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2004 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat.[22] Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.
Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUHP). Kemudian larangan itu muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas non retroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Secara historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan mengeluarkan Brisbane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu Jepang. Kuatnya keinginan menerapkan asas retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan[23] serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Talionis (pembalasan).[24]
Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam Penjelasan Pasal 4,[25] Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu:
1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam Penjelasan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut.[26] Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”.[27]
Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi hak relatif. Kemudian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu.
2. Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC.[28] Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri.
3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa
“Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri”.
Ketentuan ini merupakan dasar dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini, …” mengandung indikasi bahwa selain Perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. Akankah demikian, tentunya kita lihat perkembangan dari kedua perpu tersebut.
Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku peledakan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Imron dan Imam Samudera. Dalam perkembangannya, eksistensi Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiil oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiil hanya Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.
Salah satu dasar hukum dan yang paling relevan dengan persoalan yang dibicarakan di sini adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua) UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembatasan dari Pasal 28 J ini memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime,[29] sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana.
Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengesampingkan asas non retroaktif, argumen hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya. Di samping itu, dikemukakan pula bahaya dari penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas non-retroaktif akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik (revenge) dan sebagainya.[30]
Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 berpendapat bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut:[31]
1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat;
2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Ad hoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal;
3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun 2003 atas peristiwa bom Bali dan mengabaikan sama sekali teori sebab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum;
4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali;
5. Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukkan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut tersebut terlalu dini dan ceroboh.
Terhadap kritikan pemerintah yang terakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) atau luar biasa (extra ordinary crime). Apa yang menjadi dasar penentuan itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran. Pertama, jumlah korban yang besar atau relatif besar, kedua, cara melakukan kejahatan yang sangat kejam, ketiga, dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas dan keempat, penetapan oleh lembaga internasional (PBB atau lainnya) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penafsiran mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbeda satu dengan yang lain.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003. Meski yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini membawa dampak kepada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali.
Adalah menarik untuk mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggi di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 diuji materiilkan terhadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan ketentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara.[32] Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan.[33]
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY)
Pengertian dan Pola Tindak Pidana Pencucian Uang serta Hubungannya dengan Tindak Pidana Asal1. Pengertian Pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 UU TPPU, pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. UU TPPU telah membatasi bahwa hanya harta kekayaan yang diperoleh dari 24 jenis tindak pidana dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman 4 tahun penjara atau lebih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, yang dapat dijerat dengan sanksi pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan Pasal 6. 2. Pola tindak pidana pencucian uang Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni : placement, layering dan integration. Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan ke dalam system keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. 3. Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana lainnyaHubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat bahwa tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”). Sesuai dengan Pasal 1 UUTPPU yang telah diuraikan di atas, semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang.Di lain pihak, pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang beridiri sendiri (independent crime) karena delik pidana pencucian uang telah dirumuskan secara mandiri sesuai Pasal 3 dan 6 UU TPPU. Proses tindak pidana pencucian uang tidak harus menunggu adanya putusan pidana atas tindak pidana asal (predicate crime). Hal ini tepat sekali karena memang di dalam Pasal 3 dan 6 UUTPPU, perumusannya “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan” dan bukan “harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan”. Dengan demikian, hanya cukup dengan dugaan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari hasil tindak pidana maka pidana pencucian uang dapat diterapkan sepanjang seluruh unsur pidananya dan proses acara pidananya telah terpenuhi (lihat penjelasan Pasal 3 ayat 1 UUTPPU). D. Mekanisme Penanganan Perkara Pencucian UangProses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu PPATK. Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi. Proses penanganan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Peran Penyedia Jasa Keuangan (PJK), FIU dan MasyarakatPeran utama PJK, FIU negara lain dan masyarakat dalam penanganan perkaran pencucian uang adalah memberikan informasi awal. Laporan dan informasi tersebut adalah :a. Laporan dari PJKSebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Sesuai Pasal 1 angka 7 UUTPPU, LTKM adalah :- transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan- transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang;- transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK.Dalam kaitan ini, maka didalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang peran PJK sangat membantu baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak hukum untuk mentrasir aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum.b. Laporan dari masyarakatWalaupun UU tidak mengatur kewenangan PPATK untuk menerima informasi dari masyarakat, namun berbagai informasi adanya indikasi tindak pidana sering diterima PPATK. Atas informasi ini, Direktorat Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Informasi dari masyarakat ini diterima PPATK melalui surat secara tertulis dan melalui media internet (www.ppatk.go.id , icon : contuct-us@ppatk.go.id).c. Informasi dari aparat penegak hukumDalam penanganan suatu perkara oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui berbagai perbuatan khususnyamelalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri. d. Informasi dari Financial Intelligence Unit negara lainBerdasarkan hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU negara lain yang menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana lainnya. Informasi ini baik diminta atau tidak diminta sesuai dengan standar pertukaran informasi dalam prinsip paguyuban FIU seluruh dunia yang tergabung dalam suatu wadah yang dikenal dengan Egmont Group. 2. Peran PPATK Menurut Pasal 26 UU TPPU tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping itu, PPATK dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK).Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pada dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk menghubungkan (”association)” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan kejahatan asal melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan, yang pada akhirnya akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si penjahat. Proses pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap placement, layering maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi asosiasi antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah terdeteksi dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam rangka mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang terkait. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan (STR-suspicious transaction report) dan transaksi keuangan tunai (CTR-cash transaction report).Sedangkan Pasal 27 UUTPPU memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain: meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes) khusunya korupsi. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporan hasil analisisnya kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan (Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK harus menjalin kerjasama yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK, sharing informasi dengan instansi pemerintah atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain sebagaimana telah diuraikan di atas.Berdasarkan angka statistik per 31 Agustus 2005, PPATK telah menerima sebanyak 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dari 95 bank umum dan 1 BPR, 4 perusahaan efek, 9 pedagang valas, 1 dana pensiun, 3 lembaga pembiayaan, 1 manajer investasi dan 5 perusahaan asuransi. Jumlah penyedia jasa keuangan yang telah menyampaikan laporan tersebut dirasakan belum optimal dibandingkan dengan jumlah PJK lebih dari 2.000 perusahaan. Dari 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan tersebut, PPATK telah melakukan analisis dengan menambahkan data dan informasi yang mendukung, dan hasilnya telah diserahkan kepada Kepolisian sebanyak 330 kasus yang merupakan hasil analisis dari 616 LTKM dan kepada Kejaksaan sebanyak 3 kasus yang merupakan hasil analisis dari 11 LTKM. F. Proses Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tidan pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana seperti proses penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan khusus ini tentu memberikan keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :1. Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai laporan atau informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam mendeteksi upaya penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang atau harta yang merupakan hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan atau perbankan. Hal ini karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari seluruh laporan-laporan yang ada dan memberikan informasi mengenai indikasi hasil tindak pidana, perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan pidana yang terkait. 2. Pasal 39 sampai 43 UU TPPU memberikan perlindungan saksi dan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi lebih efektif. Perlindungan ini antara lain berupa kewajiban merahasiakan identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi pihak yang membocorkan dan perlindungan khusus oleh negara terhadap kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk keluarganya. 3. Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). 4. Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK untuk memperoleh keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base dan hasil analisis yang dimiliki FIU/PPATK.Di samping ketentuan yang telah diuraikan di atas, pasal 30 sampai dengan 38 UU TPPU secara khusus telah mengatur proses hukum tindak pidana pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses hukum) tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini tercermin dari ketentuan mengenai pemblokiran harta kekayaan, permintaan keterangan atas harta kekayaan, penyitaan, alat bukti dan tata cara proses di pengadilan.1. PemblokiranUU TPPU tidak mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam UU TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang dapat diblokir oleh penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan dan bukan rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau besarnya harta kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula Berita Acara pemblokiranDalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut tidak boleh berkurang.Jumlah dana yang ada pada rekening untuk sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai “kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian.”Mengenai tata caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis dan jelas dengan menyebutkan point-point yang diatur dapal Pasal 32 ayat (2) UU TPPU dengan tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal UU TPPU yang diduga dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana perbankan.2. Permintaan keterangan (membuka rahasia bank)Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan dari Kapolri/Jaksa Agung/Ketua Mahkamah Agung untuk meminta izin dari Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi, menurut UU No. 31 Tahun 1999, tetap diperlukan permohonan dari Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29). Dengan demikian, ketentuan dalam UU TPPU dapat mempercepat upaya untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi.Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang dapat dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia bank yaitu : 1) pihak yang telah dilaporkan oleh PPATK, 2) tersangka dan 3) terdakwa. Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan kepada bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi kepada Gubernur Bank Indonesia.Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain yang diduga terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana, sedangkan orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka hal-hal yang perlu dilakukan penyidik, antara lain :· Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya dilaporkan ke penyidik untuk ditindaklanjuti. · Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.· Penyidik meminta izin kepada Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam bentuk surat tertulis dengan syarat :· ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4) UU TPPU· menyebutkan maksud dan tujuan permintaan informasi, antara lain : status permintaan informasi (untuk penyidikan atau penuntutan); tindak pidana yang disangkakan/ didakwakan (dugaan TPPU berikut predicate crime-nya); identitas seseorang; tempat harta kekayaan (cabang Bank tertentu); nomor rekening (jika ada); dan periode transaksi yang dilakukan.Surat dari penyidik ke bank/PJK perihal permintaan informasi/keterangan terkait dengan tindak lanjut STR dengan tembusan ke PPATK. Dalam hal tindak lanjut STR tersebut terkait dengan tindak pidana perbankan, surat tersebut ditembuskan baik ke PPATK dan Bank Indonesia.Untuk mengurangi intensitas hubungan langsung penegak hukum ke PJK dalam rangka TPPU, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan sejak nasabah bank yang bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjadi fasilitator antara PJK dengan penegak hukum.3. PenyitaanDana yang disita tetap berada dalam rekening di bank yang bersangkutan (bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No.KEP-126/JA/11/1997, No.KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. Dalam mengungkap fakta bahwa seseorang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan dimaksud berasal dari hasil tindak pidana, penyidik dapat menjelaskan dengan pendekatan bahwa :- Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya seseorang itu benar mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal dari hasil tindak pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri, dilakukan bersama-sama dengan orang lain atau dilakukan orang lain.- Patut menduga artinya culva atau alfa, subyek lalai dalam menilai terhadap harta kekayaan. - Di samping itu, patut menduga dapat dilihat pula dari kecakapan seseorang, artinya seseorang tersebut harus memiliki kapasitas untuk dapat dinilai apakah lalai atau tidak- Secara praktis, untuk dapat menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya atau patut diduganya berasal dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari :ü apakah transaksi yang dilakukan sesuai profile?ü apakah seseorang tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya?ü apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying transaksinya?Terlepas dari hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU TPPU, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU, terhadap unsur “harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya Pembuktian tersebut menjadi tanggung jawab (beban) terdakwa saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai Pasal 35 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.Berkenaan dengan pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan komulatif tidak ada masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul masalah karena dipisah pemberkasannya. Seringkali satu alat bukti digunakan terhadap kedua kasus (predicate crime dan money laundering). Dalam common law system, apabila proses pidana menyimpang dari due process of law (hukum acara) maka proses hukum gugur/batal. Selanjutnya, setelah selesai penyidikan dilakukan, penyidik meneruskan pada Jaksa Penuntut Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi Jaksa selaku penuntut umum dalam menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan dalam sidang pengadilan dalam menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). Di samping itu, JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan dengan menerapkan pasal pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau pidana pencucian uang)Dalam hal penyusunan dakwaan selesai dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah proses persidangan di pengadilan. Beberapa keuntungan dalam menerapkan UUTPPU dalam proses pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :
1. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
2. Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana pencucian uang “pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai pada kebenaran formal daripada material.
3. Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus bagi saksi dan Pelador. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti dilakukan antara lain :
- Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank (permintaan bukan ditujukan pada nama pejabat bank)- kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu)- tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (a.l. laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya). F. PenutupPPATK sebagai lembaga intelijen keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi keuangan lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat memenuhi informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar informasi. Ketentuan yang mengatur mengenai proses hukum (hukum acara) tindak pidana pencucian uang menjadi kunci sukses dalam menindak lanjuti setiap hasil analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam sidang pengadilan, sehingga pelaku tindak pidana tidak bisa menghindar dari ancaman hukuman dan hasil tindak pidananya dapat dirampas untuk negara.
1. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
2. Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana pencucian uang “pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai pada kebenaran formal daripada material.
3. Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus bagi saksi dan Pelador. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti dilakukan antara lain :
- Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank (permintaan bukan ditujukan pada nama pejabat bank)- kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu)- tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (a.l. laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya). F. PenutupPPATK sebagai lembaga intelijen keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi keuangan lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat memenuhi informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar informasi. Ketentuan yang mengatur mengenai proses hukum (hukum acara) tindak pidana pencucian uang menjadi kunci sukses dalam menindak lanjuti setiap hasil analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam sidang pengadilan, sehingga pelaku tindak pidana tidak bisa menghindar dari ancaman hukuman dan hasil tindak pidananya dapat dirampas untuk negara.
Langganan:
Postingan (Atom)