Dalam sejarah dan praktek perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum – khususnya hukum pidana – semakin diperluas. Selain itu pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.
Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada,[20] padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari kovensi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah asas legalitas materiil sama dengan asas retroaktif. Asas legalitas materiil dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951[21] dan kemudian direspon dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2004 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat.[22] Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.
Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUHP). Kemudian larangan itu muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas non retroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Secara historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan mengeluarkan Brisbane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu Jepang. Kuatnya keinginan menerapkan asas retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan[23] serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Talionis (pembalasan).[24]
Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam Penjelasan Pasal 4,[25] Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu:
1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam Penjelasan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut.[26] Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”.[27]
Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi hak relatif. Kemudian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu.
2. Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC.[28] Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri.
3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa
“Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri”.
Ketentuan ini merupakan dasar dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini, …” mengandung indikasi bahwa selain Perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. Akankah demikian, tentunya kita lihat perkembangan dari kedua perpu tersebut.
Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku peledakan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Imron dan Imam Samudera. Dalam perkembangannya, eksistensi Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiil oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiil hanya Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.
Salah satu dasar hukum dan yang paling relevan dengan persoalan yang dibicarakan di sini adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua) UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembatasan dari Pasal 28 J ini memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime,[29] sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana.
Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengesampingkan asas non retroaktif, argumen hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya. Di samping itu, dikemukakan pula bahaya dari penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas non-retroaktif akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik (revenge) dan sebagainya.[30]
Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 berpendapat bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut:[31]
1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat;
2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Ad hoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal;
3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun 2003 atas peristiwa bom Bali dan mengabaikan sama sekali teori sebab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum;
4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali;
5. Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukkan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut tersebut terlalu dini dan ceroboh.
Terhadap kritikan pemerintah yang terakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) atau luar biasa (extra ordinary crime). Apa yang menjadi dasar penentuan itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran. Pertama, jumlah korban yang besar atau relatif besar, kedua, cara melakukan kejahatan yang sangat kejam, ketiga, dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas dan keempat, penetapan oleh lembaga internasional (PBB atau lainnya) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penafsiran mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbeda satu dengan yang lain.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003. Meski yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini membawa dampak kepada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali.
Adalah menarik untuk mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggi di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 diuji materiilkan terhadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan ketentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara.[32] Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan.[33]
Jumat, 16 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar